Medan (ANTARA News) - Akademisi ilmu hukum Universitas Sumatera Utara Prof Dr Syafruddin Kalo menyebutkan bahwa pemalakan atau praktik pungutan liar (pungli) di lokasi pariwisata, menghambat pembangunan dan pengembangan kepariwisataan daerah.
"Pungli yang dilakukan sekelompok pemuda sangat disesalkan, karena tidak hanya merugikan pengelola lokasi pariwisata, tetapi juga wisatawan dan masyarakat," katanya di Medan, Sabtu.
"Pungli yang dilakukan sekelompok pemuda sangat disesalkan, karena tidak hanya merugikan pengelola lokasi pariwisata, tetapi juga wisatawan dan masyarakat," katanya di Medan, Sabtu.
Sehubungan dengan itu, menurut dia, aksi premanisme atau pemalakan di tempat-tempat wisata di sejumlah daerah Provinsi Sumut harus diberanta n hingga ke akar-akarnya sehingga tidak sampai mengganggu perekonomian masyarakat.
"Keberhasilan pembangunan pariwisata di daerah, sangat menentukan kemajuan perekonomian masyarakat," ujar Syafruddin.
Ia menyebutkan, kutipan liar yang banyak terjadi, misalnya, di objek wisata Puncak Hoza, Desa Kampung Yaman, Aek Natas, Kabupaten Labuhan Batu (Labura), Sumut, mengakibatkan kebangkrutan pihak pengelola.
Oleh karena itu, katanya, Dinas Pariwisata Labura harus bekerja sama dengan Polres setempat untuk menertibkan praktik pungli yang merugikan pengelola objek wisata, dan para pengunjung.
"Yang namanya tempat wisata di manapun berada, harus aman, tenang, tertib dan tidak meresahkan masyarakat setempat maupun pengunjung," ucapnya.
Syafruddin menambahkan, aksi premanisme yang terjadi di objek wisata Puncak Hoza, harus diberantas oleh aparat keamanan, jangan sampai sepeti dibiarkan merajalela.
Wisatawan yang diperas oleh sekelompok pemuda di lokasi wisata, dapat melaporkan peristiwa tersebut ke polsek atau polres.
Pengelola objek wisata Puncak Hoza, Desa Kampung Yaman, Aek Natas, Kabupaten Labura, terancam gulung tikar akibat banyaknya pungli yang dialaminya.
Praktik pemerasan itu sudah berlangsung cukup lama dan tidak ada penertiban yang dilakukan pihak berwajib, sehingga seolah-olah terjadi pembiaran.
Praktik pungli atau "pemalakan" di lokasi objek wisata tersebut, tidak hanya dialami pengusaha, tetapi juga wisatawan yang berkunjung ke lokasi itu.
Ditutupnya objek wisata itu, juga merugikan pekerja yang selama ini membantu pengusaha tersebut.
"Keberhasilan pembangunan pariwisata di daerah, sangat menentukan kemajuan perekonomian masyarakat," ujar Syafruddin.
Ia menyebutkan, kutipan liar yang banyak terjadi, misalnya, di objek wisata Puncak Hoza, Desa Kampung Yaman, Aek Natas, Kabupaten Labuhan Batu (Labura), Sumut, mengakibatkan kebangkrutan pihak pengelola.
Oleh karena itu, katanya, Dinas Pariwisata Labura harus bekerja sama dengan Polres setempat untuk menertibkan praktik pungli yang merugikan pengelola objek wisata, dan para pengunjung.
"Yang namanya tempat wisata di manapun berada, harus aman, tenang, tertib dan tidak meresahkan masyarakat setempat maupun pengunjung," ucapnya.
Syafruddin menambahkan, aksi premanisme yang terjadi di objek wisata Puncak Hoza, harus diberantas oleh aparat keamanan, jangan sampai sepeti dibiarkan merajalela.
Wisatawan yang diperas oleh sekelompok pemuda di lokasi wisata, dapat melaporkan peristiwa tersebut ke polsek atau polres.
Pengelola objek wisata Puncak Hoza, Desa Kampung Yaman, Aek Natas, Kabupaten Labura, terancam gulung tikar akibat banyaknya pungli yang dialaminya.
Praktik pemerasan itu sudah berlangsung cukup lama dan tidak ada penertiban yang dilakukan pihak berwajib, sehingga seolah-olah terjadi pembiaran.
Praktik pungli atau "pemalakan" di lokasi objek wisata tersebut, tidak hanya dialami pengusaha, tetapi juga wisatawan yang berkunjung ke lokasi itu.
Ditutupnya objek wisata itu, juga merugikan pekerja yang selama ini membantu pengusaha tersebut.
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.