Jakarta (ANTARA News) - Penyidik KPK Novel Baswedan menjelaskan bahwa anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR sebelum diperiksa di KPK.
"Yang bersangkutan bercerita karena sebulan sebelum pemanggilan sudah merasa mengetahui akan dipanggil dari rekan anggota DPR lain, disuruh beberapa anggota DPR lain dari Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang itu bahkan yang bersangkutan mengaku kalau mengaku bisa dijeblosin," kata Novel dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Miryam menjadi saksi bersama dengan tiga orang penyidik KPK yaitu Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan M Irwan Santoso dalam sidang kasus tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik (KTP-E).
Novel pun mengaku bahwa Miryam yang dalam dakwaan disebut menerima 23 ribu dolar AS itu tidak pernah menerima uang.
"Di pemeriksa terakhir, saya periksa yang bersangkutan, bahwa terkait uang yang diterima untuk semakin perjelas sikap kooperatif dan kewajiban segera dikembalikan, tapi yang bersangkutan mengatakan Kalau dikembalikan habis saya dengan kawan-kawan di DPR. Tapi saya katakan tidak perlu khawatir menyampaikan kebenaran, bahkan ada kemungkinan penyidik minta barang atau kepemilikan yang dimiliki kalau tetap tidak mau kembalikan tapi yang bersangkutan mengatakan bukan tidak mau mengembalikan tapi tunggu anggota DPR lain mengembalikan, saya pahami itu khawatir," tambah Novel.
Novel juga menyatakan pernah menawarkan mekanisme perlidungan saksi bagi Miryam.
"Kami tawari di KPK ada mekanisme perlindungan, tapi yang bersangkutan tidak mau dan kami takut yang bersangkutan diancam lagi, saya berikan nomor telepon agar sewaktu-waktu merasa terancam bisa menghubungi, tapi dia tidak mau," jelas Novel.
Sehingga dalam pemeriksaan itu menurut Novel, Miryam menerangkan bahwa ia pernah menerima uang dari Sugiharto dan berkomunikasi dengan Irman.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Miryam mendapat uang dari Sugiharto dan membagikan kepada empat orang pimpinan komisi II DPR Chaeruman, Ganjar, Teguh, Taufik Effendi masing-masing 25 ribu dolar AS, 9 kapoksi masing-masing 14 ribu dolar AS termasuk ketua kelompok fraksi (kapoksi) merangkap pimpinan komisi, 50 anggota Komisi II DPR masing-masing 8 ribu dolar AS termasuk pimpinan komisi dan Kapoksi.
Dalam sidang pada 22 Maret 2017 lalu, Miryam mengaku ditekan oleh penyidik KPK saat diperiksa ditahap penyidikan.
"BAP (Berita Acara Pemeriksaan) isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik. Satu namaya Pak Novel, Pak Damanik, satunya saya lupa. Baru duduk sudah ngomong ibu tahun 2010 mestinya saya sudah tangkap, kata Pak Novel begitu. Saya takut. Saya ditekan, tertekan sekali waktu saya diperiksa," ungkap Miryam pada Rabu (22/3).
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jendera Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Selain keduanya, KPK juga baru menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun.
"Yang bersangkutan bercerita karena sebulan sebelum pemanggilan sudah merasa mengetahui akan dipanggil dari rekan anggota DPR lain, disuruh beberapa anggota DPR lain dari Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang itu bahkan yang bersangkutan mengaku kalau mengaku bisa dijeblosin," kata Novel dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Miryam menjadi saksi bersama dengan tiga orang penyidik KPK yaitu Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan M Irwan Santoso dalam sidang kasus tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik (KTP-E).
Novel pun mengaku bahwa Miryam yang dalam dakwaan disebut menerima 23 ribu dolar AS itu tidak pernah menerima uang.
"Di pemeriksa terakhir, saya periksa yang bersangkutan, bahwa terkait uang yang diterima untuk semakin perjelas sikap kooperatif dan kewajiban segera dikembalikan, tapi yang bersangkutan mengatakan Kalau dikembalikan habis saya dengan kawan-kawan di DPR. Tapi saya katakan tidak perlu khawatir menyampaikan kebenaran, bahkan ada kemungkinan penyidik minta barang atau kepemilikan yang dimiliki kalau tetap tidak mau kembalikan tapi yang bersangkutan mengatakan bukan tidak mau mengembalikan tapi tunggu anggota DPR lain mengembalikan, saya pahami itu khawatir," tambah Novel.
Novel juga menyatakan pernah menawarkan mekanisme perlidungan saksi bagi Miryam.
"Kami tawari di KPK ada mekanisme perlindungan, tapi yang bersangkutan tidak mau dan kami takut yang bersangkutan diancam lagi, saya berikan nomor telepon agar sewaktu-waktu merasa terancam bisa menghubungi, tapi dia tidak mau," jelas Novel.
Sehingga dalam pemeriksaan itu menurut Novel, Miryam menerangkan bahwa ia pernah menerima uang dari Sugiharto dan berkomunikasi dengan Irman.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Miryam mendapat uang dari Sugiharto dan membagikan kepada empat orang pimpinan komisi II DPR Chaeruman, Ganjar, Teguh, Taufik Effendi masing-masing 25 ribu dolar AS, 9 kapoksi masing-masing 14 ribu dolar AS termasuk ketua kelompok fraksi (kapoksi) merangkap pimpinan komisi, 50 anggota Komisi II DPR masing-masing 8 ribu dolar AS termasuk pimpinan komisi dan Kapoksi.
Dalam sidang pada 22 Maret 2017 lalu, Miryam mengaku ditekan oleh penyidik KPK saat diperiksa ditahap penyidikan.
"BAP (Berita Acara Pemeriksaan) isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik. Satu namaya Pak Novel, Pak Damanik, satunya saya lupa. Baru duduk sudah ngomong ibu tahun 2010 mestinya saya sudah tangkap, kata Pak Novel begitu. Saya takut. Saya ditekan, tertekan sekali waktu saya diperiksa," ungkap Miryam pada Rabu (22/3).
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jendera Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Selain keduanya, KPK juga baru menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun.
Editor: Unggul Tri Ratomo
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.