Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengawali kepemimpinannya dengan mengubah arah kebijakan moneter menjadi "bias ketat" dari "netral", dan memberi sinyalemen kemungkinan menaikkan kembali suku bunga acuan untuk ketiga kali pada 2018.
"Kami terus mengalibrasi perkembangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih ada ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur," kata Perry dalam jumpa pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan yang dilakukan untuk kedua kali pada Mei 2018 di Jakarta, Rabu.
Dalam RDG bulanan ekstra yang diselenggarakan pertama kali oleh Bank Sentral sejak 2013, BI menaikkan suku bunga acuan "7-Day Reveres Repo Rate" sebesar 0,25 persen menjadi 4,75 persen.
Kenaikan suku bunga itu melengkapi pengetatan kedua kali suku bunga kebijakan BI hanya dalam tempo dua pekan, di tengah pelemahan rupiah yang sudah jauh di bawah nilai fundamental.
Rupiah di penghujung Mei 2018 sudah melewati batas psikologis Rp14.000 per dolar AS dengan level depresiasi di 3,9-4 persen (year to date/ytd).
Pengetatan kebijakan moneter pada akhir Mei 2018 juga untuk mengantisipasi tekanan arus modal keluar (capital reverseal) yang bisa disebabkan ekspetasi pelaku pasar tentang kenaikan kedua kalinya suku bunga acuan The Federal Reserve pada 13 Juni 2018 menjadi 1,75 persen-2 persen.
Perry yang kerap mengkampanyekan kebijakna moneter pro-stabilitas dan pro-pertumbuhan menekankan bahawa dirinya ingin menerpakan kebijakan moneter yang antisipatif terhadap tekanan yang bisa mengganggu stabilitas perekonomian domestik.
"Ini merupakan kebijakan pre-emptive (antisipatif), dan ahead of the curve (selangkah lebih maju) dan frontloading untuk merespons risiko dan tekanan eksternal," ujar Perry yang menghabiskan lima tahun terakhirnya menjadi Deputi Gubernur BI.
Di sisa tahun, Perry mengakui ancaman arus modal keluar masih membayangi stabilitas pasar keuangan domestik.
Sumber ancaman itu adalah kenaikan suku bunga The Fed yang diramalkan terjadi 3-4 kali tahun ini, pelebaran defisit fiskal pemerintah AS yang memicu kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, dan juga dinamika geopolitik global. Olah karena itu, Perry menilai arah kebijakan moneter BI harus berubah dari yang "netral" menjadi "bias ketat".
Sementara itu, kata Perry, kondisi perekonomian domestik berjalan baik, ditandai dengan proyeksi inflasi hingga akhir tahun yang sebesar 3,6 persen (tahun ke tahun/yoy) atau masih dalam sasaran inflasi BI di 2,5-4,5 persen (yoy). Kemudian indikator defisit transaksi berjalan diperkirakan masih di bawah 2,5 persen PDB.
Bank Sentral juga sedang menyiapkan relaksasi kebijakan makroprudensial di bidang pembiayaan perumahan, dan juga pendalaman pasar keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, agar minimal menyentuh 5,2 persen (yoy).
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan kenaikan suku bunga acuan ini memang akan memberi pengaruh kepada suku bunga kredit perbankan.
Namun Erwin meyakini kenaikan suku bunga kredit tidak akan terjadi secara serta-merta dan dalam waktu cepat. BI masih meyakini pertumbuhan kredit perbankan tahun ini di 10-12 persen (yoy).
"Kenaikan ini tidak serta merta diikuti dengan jumlah yang sama. Bagaiamana perkiraan pertumbuhan kredit ini? Kalau kita melihat pertumbuhan kredit ini, kita belum memberikan perubahan untuk target pertumbuhan kredit," ujar dia.
Baca juga: BI dongkrak bunga acuan jadi 4,75 persen
"Kami terus mengalibrasi perkembangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih ada ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur," kata Perry dalam jumpa pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan yang dilakukan untuk kedua kali pada Mei 2018 di Jakarta, Rabu.
Dalam RDG bulanan ekstra yang diselenggarakan pertama kali oleh Bank Sentral sejak 2013, BI menaikkan suku bunga acuan "7-Day Reveres Repo Rate" sebesar 0,25 persen menjadi 4,75 persen.
Kenaikan suku bunga itu melengkapi pengetatan kedua kali suku bunga kebijakan BI hanya dalam tempo dua pekan, di tengah pelemahan rupiah yang sudah jauh di bawah nilai fundamental.
Rupiah di penghujung Mei 2018 sudah melewati batas psikologis Rp14.000 per dolar AS dengan level depresiasi di 3,9-4 persen (year to date/ytd).
Pengetatan kebijakan moneter pada akhir Mei 2018 juga untuk mengantisipasi tekanan arus modal keluar (capital reverseal) yang bisa disebabkan ekspetasi pelaku pasar tentang kenaikan kedua kalinya suku bunga acuan The Federal Reserve pada 13 Juni 2018 menjadi 1,75 persen-2 persen.
Perry yang kerap mengkampanyekan kebijakna moneter pro-stabilitas dan pro-pertumbuhan menekankan bahawa dirinya ingin menerpakan kebijakan moneter yang antisipatif terhadap tekanan yang bisa mengganggu stabilitas perekonomian domestik.
"Ini merupakan kebijakan pre-emptive (antisipatif), dan ahead of the curve (selangkah lebih maju) dan frontloading untuk merespons risiko dan tekanan eksternal," ujar Perry yang menghabiskan lima tahun terakhirnya menjadi Deputi Gubernur BI.
Di sisa tahun, Perry mengakui ancaman arus modal keluar masih membayangi stabilitas pasar keuangan domestik.
Sumber ancaman itu adalah kenaikan suku bunga The Fed yang diramalkan terjadi 3-4 kali tahun ini, pelebaran defisit fiskal pemerintah AS yang memicu kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, dan juga dinamika geopolitik global. Olah karena itu, Perry menilai arah kebijakan moneter BI harus berubah dari yang "netral" menjadi "bias ketat".
Sementara itu, kata Perry, kondisi perekonomian domestik berjalan baik, ditandai dengan proyeksi inflasi hingga akhir tahun yang sebesar 3,6 persen (tahun ke tahun/yoy) atau masih dalam sasaran inflasi BI di 2,5-4,5 persen (yoy). Kemudian indikator defisit transaksi berjalan diperkirakan masih di bawah 2,5 persen PDB.
Bank Sentral juga sedang menyiapkan relaksasi kebijakan makroprudensial di bidang pembiayaan perumahan, dan juga pendalaman pasar keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, agar minimal menyentuh 5,2 persen (yoy).
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan kenaikan suku bunga acuan ini memang akan memberi pengaruh kepada suku bunga kredit perbankan.
Namun Erwin meyakini kenaikan suku bunga kredit tidak akan terjadi secara serta-merta dan dalam waktu cepat. BI masih meyakini pertumbuhan kredit perbankan tahun ini di 10-12 persen (yoy).
"Kenaikan ini tidak serta merta diikuti dengan jumlah yang sama. Bagaiamana perkiraan pertumbuhan kredit ini? Kalau kita melihat pertumbuhan kredit ini, kita belum memberikan perubahan untuk target pertumbuhan kredit," ujar dia.
Baca juga: BI dongkrak bunga acuan jadi 4,75 persen
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Heppy Ratna Sari
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Editor: Heppy Ratna Sari
COPYRIGHT © ANTARA 2018
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.