Jakarta (ANTARA News) - KPK menyoroti keabsahan panitia khusus (pansus) hak angket DPR yang hanya berasal dari 5 fraksi.
"Persoalannya jika pansus tetap dipaksakan terbentuk meski belum semua fraksi menyampaikan usulan anggotanya tentu akan beresiko dengan UU karena apakah itu sah atau tidak sah jadi persoalan hukum kembali," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Selasa.
Pada hari ini susunan kepanitian Pansus Angket KPK diumumkan pada akhir rapat paripurna DPR. Saat ini, Pansus Angket KPK baru terdiri dari lima fraksi yang secara resmi sudah mengirim wakilnya ke pimpinan DPR yaitu Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi Hanura, Fraksi PPP, dan Fraksi Nasdem.
"Karena ada ketentuan pasal 201 UU MD3 bahwa unsur angket harus terdiri dari semua anggota fraksi. Artinya tentu harus semua fraksi menyampaikan anggotanya baru Pansus Angket memenuhi ketentuan UU," tambah Febri.
Bila keabsahan pansus masih dipertanyakan maka status penggunaan anggarannya pun akan bermasalah.
"Kalau pansus tidak sah bagaimana dengan status penggunaan anggaran dan seluruh fasilitas yang digunakan oleh pansus itu dan kewajiban hukumnya? Ini menyisakan persoalan yang harus dijawab secara clear. Karena ini terkait keabsahan hukum yang konsekuensinya panjang ke depan soal tidak sah bisa di pengadilan dan terkait sah atau tidaknya anggaran disana yang menggunakan APBN," jelas Febri.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan saat ini pimpinan DPR masih menunggu kepastian dari lima fraksi lain yang belum mengirim perwakilan di Pansus Angket KPK. Sejauh ini tersisa dua fraksi yang menyatakan menolak mengirim wakil yaitu Fraksi PKS dan Demokrat.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel namanya.
"Persoalannya jika pansus tetap dipaksakan terbentuk meski belum semua fraksi menyampaikan usulan anggotanya tentu akan beresiko dengan UU karena apakah itu sah atau tidak sah jadi persoalan hukum kembali," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Selasa.
Pada hari ini susunan kepanitian Pansus Angket KPK diumumkan pada akhir rapat paripurna DPR. Saat ini, Pansus Angket KPK baru terdiri dari lima fraksi yang secara resmi sudah mengirim wakilnya ke pimpinan DPR yaitu Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi Hanura, Fraksi PPP, dan Fraksi Nasdem.
"Karena ada ketentuan pasal 201 UU MD3 bahwa unsur angket harus terdiri dari semua anggota fraksi. Artinya tentu harus semua fraksi menyampaikan anggotanya baru Pansus Angket memenuhi ketentuan UU," tambah Febri.
Bila keabsahan pansus masih dipertanyakan maka status penggunaan anggarannya pun akan bermasalah.
"Kalau pansus tidak sah bagaimana dengan status penggunaan anggaran dan seluruh fasilitas yang digunakan oleh pansus itu dan kewajiban hukumnya? Ini menyisakan persoalan yang harus dijawab secara clear. Karena ini terkait keabsahan hukum yang konsekuensinya panjang ke depan soal tidak sah bisa di pengadilan dan terkait sah atau tidaknya anggaran disana yang menggunakan APBN," jelas Febri.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan saat ini pimpinan DPR masih menunggu kepastian dari lima fraksi lain yang belum mengirim perwakilan di Pansus Angket KPK. Sejauh ini tersisa dua fraksi yang menyatakan menolak mengirim wakil yaitu Fraksi PKS dan Demokrat.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel namanya.
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.