Paris (ANTARA News) - Di tengah pemanasan global dan pemanasan daerah perkotaan, suhu di beberapa kota di dunia bisa meningkat delapan derajat Celsius lebih panas pada 2100, menurut peneliti pada Senin (29/5).
Lonjakan suhu semacam itu dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan penghuni kota dan menekan sumber daya alam yang sudah rentan seperti air, seperti dilansir dari AFP.
Proyeksi tersebut didasarkan pada asumsi skenario terburuk bahwa emisi gas rumah kaca terus meningkat sepanjang abad 21.
Empat kota berpenduduk paling banyak dalam skenario tersebut rentan terkena lonjakan merkuri 7 derajat Celsius atau lebih pada akhir abad ini, menurut studi di jurnal Nature Climate Change.
Untuk beberapa kasus, hampir 5 derajat Celsius dari total tersebut akan dikaitkan dengan rata-rata pemanasan global.
Sisanya disebabkan oleh dampak Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island/UHI), yang terjadi ketika kesegaran taman, bendungan dan danau digantikan oleh beton dan aspal yang panas - membuat daerah kota lebih panas dibandingkan daerah sekitarnya.
"Lima persen teratas (daerah kota per penduduk) dapat merasakan kenaikan suhu sekitar 8 derajat Celsius atau lebih," kata salah satu penulis penelitian, Francisco Estrada, dari Institute for Environmental Studies di Belanda.
UHI "secara signifikan" meningkatkan suhu kota dan kerugian ekonomi akibat pemanasan global.
Aksi lokal untuk mengurangi UHI - seperti menanam lebih banyak pohon atau memasang atap pendingin dapat membuat perbedaan besar dalam membatasi dan mengurangi risiko.
Perkotaan hanya mencakup sekitar 1 persen dari permukaan bumi, tapi, menyumbang 80 persen produk kotor dunia dan sekitar 78 persen energi yang dikonsumsi, menurut para peneliti.
Kota memproduksi lebih dari 60 persen emisi karbon dioksida global melalui pembakaran batu bara, minyak dan gas.
Pada 2015 lalu, dunia sepakat untuk membatasi rata-rata pemanasan global menjadi dua derajat Celsius dari pra-revolusi industri dengan membatasi gas efek rumah kaca di atmosfer bumi.
Peneliti menggunakan data dari 1.692 kota terbesar periode 1950-2015 untuk studi ini.
Proyeksi tersebut didasarkan pada asumsi skenario terburuk bahwa emisi gas rumah kaca terus meningkat sepanjang abad 21.
Empat kota berpenduduk paling banyak dalam skenario tersebut rentan terkena lonjakan merkuri 7 derajat Celsius atau lebih pada akhir abad ini, menurut studi di jurnal Nature Climate Change.
Untuk beberapa kasus, hampir 5 derajat Celsius dari total tersebut akan dikaitkan dengan rata-rata pemanasan global.
Sisanya disebabkan oleh dampak Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island/UHI), yang terjadi ketika kesegaran taman, bendungan dan danau digantikan oleh beton dan aspal yang panas - membuat daerah kota lebih panas dibandingkan daerah sekitarnya.
"Lima persen teratas (daerah kota per penduduk) dapat merasakan kenaikan suhu sekitar 8 derajat Celsius atau lebih," kata salah satu penulis penelitian, Francisco Estrada, dari Institute for Environmental Studies di Belanda.
UHI "secara signifikan" meningkatkan suhu kota dan kerugian ekonomi akibat pemanasan global.
Aksi lokal untuk mengurangi UHI - seperti menanam lebih banyak pohon atau memasang atap pendingin dapat membuat perbedaan besar dalam membatasi dan mengurangi risiko.
Perkotaan hanya mencakup sekitar 1 persen dari permukaan bumi, tapi, menyumbang 80 persen produk kotor dunia dan sekitar 78 persen energi yang dikonsumsi, menurut para peneliti.
Kota memproduksi lebih dari 60 persen emisi karbon dioksida global melalui pembakaran batu bara, minyak dan gas.
Pada 2015 lalu, dunia sepakat untuk membatasi rata-rata pemanasan global menjadi dua derajat Celsius dari pra-revolusi industri dengan membatasi gas efek rumah kaca di atmosfer bumi.
Peneliti menggunakan data dari 1.692 kota terbesar periode 1950-2015 untuk studi ini.
Penerjemah: Natisha Andarningtyas
Editor: Monalisa
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.