Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan ekspor produk sawit secara keseluruhan pada 2017 mencapai 27 juta ton, atau mengalami kenaikan dibandingkan dengan 2016 yang tercatat sebesar 25,1 juta ton.
Sekretaris Jenderal GAPKI Togar Sitanggang dalam jumpa pers Refleksi Industri Kelapa Sawit 2016 dan Prospek 2017 menyatakan ekspor produk sawit diharapkan meningkat meskipun tercatat pada 2016 menurun sebesar lima persen.
"Untuk 2017, ekspor masih sedikit konservatif," kata Togar, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data GAPKI, total ekspor produk sawit tersebut terbagi dalam crude palm oil (CPO) mentah sebanyak 5,5 juta ton, produk refine CPO sebanyak 18 juta to, palm kernel oil (PKO) dan refine PKO sebanyak 1,5 juta ton, biodiesel 500 ribu ton dan oleo chemical sebanyak 1,5 juta ton.
Sementara pada 2016, ekspor minyak sawit Indonesia untuk CPO dan turunannya mengalami penurunan sebesar lima persen. Tercatat pada 2015 ekspor sebesar 26,4 juta ton, dan menjadi 25,1 juta ton pada tahun 2016.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan bahwa penurunan ekspor tersebut selain diakibatkan melemahnya permintaan pasar luar negeri, juga disebabkan penurunan produksi dalam negeri. Tercatat, produksi pada 2016 turun tiga persen menjadi 34,5 juta ton dari sebelumnya 35,5 juta ton.
"Tahun 2017, harapannya pemerintah membantu dalam menyelesaikan hambatan perdagangan di berbagai negara sehingga mencapai target peningkatan ekspor Indonesia," kata Joko.
Penurunan ekspor terjadi karena permintaan pasar global yang melemah hampir di semua negara tujuan ekspor dan penggunaan CPO untuk program mandatori bahan bakar nabati (B-20) yang telah berjalan secara konsisten. Sementara untuk pasar Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa, cenderung mengalami kenaikan.
Amerika Serikat mencatatkan peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia yang signifikan yakni sebesar 43 persen atau dari 758,55 ribu ton pada 2015, dan menjadi 1,08 juta ton pada 2016. Negara-negara Uni Eropa juga mencatatkan kenaikan permintaan sebesar tiga persen dari sebelumnya 4,2 juta ton menjadi 4,4 juta ton pada 2016.
Secara nilai, pada 2016 industri sawit menyumbangkan devisa sebesar 18,1 miliar dolar AS. Nilai tersebut mengalami penurunan sebesar tiga persen jika dibandingkan dengan nilai ekspor minyak sawit 2015 sebesar 18,67 miliar dolar AS.
Sebaliknya negara utama pengimpor minyak sawit asal Indonesia yaitu India, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Pakistan mencatatkan penurunan permintaan. Tiongkok mencatatkan penurunan cukup signifikan sebesar 19 persen atau dari 3,99 juta ton menjadi 3,23 juta ton.
Permintaan minyak sawit dari Pakistan pada 2016 turun sebesar 5,5 persen atau dari 2,19 juta ton turun menjadi 2,07 juta ton. Untuk India tercatat mengalami penurunan tipis sebesar 0,3 persen atau dari 5,8 juta ton menjadi 5,78 juta ton pada 2016.
Pada 2017, produksi CPO dalam negeri diproyeksikan mencapai 35,5 juta ton dan Palm Kernel Oil (PKO) sebesar 3,2 juta ton.
Sekretaris Jenderal GAPKI Togar Sitanggang dalam jumpa pers Refleksi Industri Kelapa Sawit 2016 dan Prospek 2017 menyatakan ekspor produk sawit diharapkan meningkat meskipun tercatat pada 2016 menurun sebesar lima persen.
"Untuk 2017, ekspor masih sedikit konservatif," kata Togar, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data GAPKI, total ekspor produk sawit tersebut terbagi dalam crude palm oil (CPO) mentah sebanyak 5,5 juta ton, produk refine CPO sebanyak 18 juta to, palm kernel oil (PKO) dan refine PKO sebanyak 1,5 juta ton, biodiesel 500 ribu ton dan oleo chemical sebanyak 1,5 juta ton.
Sementara pada 2016, ekspor minyak sawit Indonesia untuk CPO dan turunannya mengalami penurunan sebesar lima persen. Tercatat pada 2015 ekspor sebesar 26,4 juta ton, dan menjadi 25,1 juta ton pada tahun 2016.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan bahwa penurunan ekspor tersebut selain diakibatkan melemahnya permintaan pasar luar negeri, juga disebabkan penurunan produksi dalam negeri. Tercatat, produksi pada 2016 turun tiga persen menjadi 34,5 juta ton dari sebelumnya 35,5 juta ton.
"Tahun 2017, harapannya pemerintah membantu dalam menyelesaikan hambatan perdagangan di berbagai negara sehingga mencapai target peningkatan ekspor Indonesia," kata Joko.
Penurunan ekspor terjadi karena permintaan pasar global yang melemah hampir di semua negara tujuan ekspor dan penggunaan CPO untuk program mandatori bahan bakar nabati (B-20) yang telah berjalan secara konsisten. Sementara untuk pasar Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa, cenderung mengalami kenaikan.
Amerika Serikat mencatatkan peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia yang signifikan yakni sebesar 43 persen atau dari 758,55 ribu ton pada 2015, dan menjadi 1,08 juta ton pada 2016. Negara-negara Uni Eropa juga mencatatkan kenaikan permintaan sebesar tiga persen dari sebelumnya 4,2 juta ton menjadi 4,4 juta ton pada 2016.
Secara nilai, pada 2016 industri sawit menyumbangkan devisa sebesar 18,1 miliar dolar AS. Nilai tersebut mengalami penurunan sebesar tiga persen jika dibandingkan dengan nilai ekspor minyak sawit 2015 sebesar 18,67 miliar dolar AS.
Sebaliknya negara utama pengimpor minyak sawit asal Indonesia yaitu India, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Pakistan mencatatkan penurunan permintaan. Tiongkok mencatatkan penurunan cukup signifikan sebesar 19 persen atau dari 3,99 juta ton menjadi 3,23 juta ton.
Permintaan minyak sawit dari Pakistan pada 2016 turun sebesar 5,5 persen atau dari 2,19 juta ton turun menjadi 2,07 juta ton. Untuk India tercatat mengalami penurunan tipis sebesar 0,3 persen atau dari 5,8 juta ton menjadi 5,78 juta ton pada 2016.
Pada 2017, produksi CPO dalam negeri diproyeksikan mencapai 35,5 juta ton dan Palm Kernel Oil (PKO) sebesar 3,2 juta ton.
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.