Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah didesak untuk melegalkan cantrang sebagai alat penangkapan ikan yang sah karena pelarangan cantrang dinilai berdampak langsung terhadap perekonomian para nelayan, khususnya di wilayah Jawa Tengah.
"Kenapa harus dilegalkan? Kawan-kawan nelayan perjuangannya sudah mentok, mulai bertemu Presiden Jokowi sampai mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung dan Ombudsman RI, namun semua tidak membuahkan hasil," kata Anggota Komisi B DPRD Jawa Tengah, Riyono, dalam rilis, Sabtu.
Menurut politisi PKS itu, dengan kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada nelayan, imbas ekonomi pelarangan cantrang membuat munculnya kerugian bagi sekitar 200.000 tenaga kerja harian nelayan kecil, buruh kapal, pedagang ikan kecil dan kuli panggul di sepanjang pantura Jateng.
Hal itu, ujar dia, sangat merugikan jika dibandingkan dengan harapan kelestarian dan keberlanjutan yang kerap disebut Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Di sisi lain, penggantian alat yang dijanjikan tidak sesuai harapan nelayan, janji memberikan kemudahan pinjaman bank juga tidak mudah diakses oleh nelayan, tentu kondisi ini membuat nelayan semakin sulit menjelang 19 Juni 2017 sebagai masa akhir toleransi cantrang," katanya.
Riyono yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) mengutarakan harapannya agar Presiden Joko Widodo bisa memanggil Menteri Susi dalam rangka membenahi peraturan menteri terkait pelarangan cantrang tersebut.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan penggunaan alat tangkap cantrang dilarang karena pengoperasian cantrang menyentuh dasar perairan dan berpotensi mengganggu dan merusak ekosistem di lautan.
"Kita menyetujui bahwa cantrang itu cara beroperasinya menggaruk dasar laut. Itu merusak," kata Menteri Susi dan menambahkan pengoperasian cantrang berpotensi merusak ekosistem tempat tumbuhnya organisme atau jasad renik yang menjadi makanan ikan sehingga mengurangi produktivitas dasar perairan.
Selain itu, ujar dia, cantrang juga dapat menjaring berbagai jenis ikan dengan berbagai ukuran yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan kelautan Indonesia.
"Sebenarnya banyak yang sudah beralih. Cantrang ini umumnya bukan dipakai nelayan kecil lagi, tetapi sudah saudagar besar. Tapi banyak juga mereka (saudagar besar) yang memakai gillnet dan purse seine. Jadi, pelarangan cantrang ini bukan akhir segalanya," jelas Menteri Kelautan dan Perikanan.
Tahun 2015 tercatat ada sebanyak 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Kemudian KKP melakukan pergantian sebanyak 1.529 unit dengan alat tangkap ramah lingkungan dan proses tersebut masih terus berlanjut.
"Kenapa harus dilegalkan? Kawan-kawan nelayan perjuangannya sudah mentok, mulai bertemu Presiden Jokowi sampai mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung dan Ombudsman RI, namun semua tidak membuahkan hasil," kata Anggota Komisi B DPRD Jawa Tengah, Riyono, dalam rilis, Sabtu.
Menurut politisi PKS itu, dengan kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada nelayan, imbas ekonomi pelarangan cantrang membuat munculnya kerugian bagi sekitar 200.000 tenaga kerja harian nelayan kecil, buruh kapal, pedagang ikan kecil dan kuli panggul di sepanjang pantura Jateng.
Hal itu, ujar dia, sangat merugikan jika dibandingkan dengan harapan kelestarian dan keberlanjutan yang kerap disebut Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Di sisi lain, penggantian alat yang dijanjikan tidak sesuai harapan nelayan, janji memberikan kemudahan pinjaman bank juga tidak mudah diakses oleh nelayan, tentu kondisi ini membuat nelayan semakin sulit menjelang 19 Juni 2017 sebagai masa akhir toleransi cantrang," katanya.
Riyono yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) mengutarakan harapannya agar Presiden Joko Widodo bisa memanggil Menteri Susi dalam rangka membenahi peraturan menteri terkait pelarangan cantrang tersebut.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan penggunaan alat tangkap cantrang dilarang karena pengoperasian cantrang menyentuh dasar perairan dan berpotensi mengganggu dan merusak ekosistem di lautan.
"Kita menyetujui bahwa cantrang itu cara beroperasinya menggaruk dasar laut. Itu merusak," kata Menteri Susi dan menambahkan pengoperasian cantrang berpotensi merusak ekosistem tempat tumbuhnya organisme atau jasad renik yang menjadi makanan ikan sehingga mengurangi produktivitas dasar perairan.
Selain itu, ujar dia, cantrang juga dapat menjaring berbagai jenis ikan dengan berbagai ukuran yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan kelautan Indonesia.
"Sebenarnya banyak yang sudah beralih. Cantrang ini umumnya bukan dipakai nelayan kecil lagi, tetapi sudah saudagar besar. Tapi banyak juga mereka (saudagar besar) yang memakai gillnet dan purse seine. Jadi, pelarangan cantrang ini bukan akhir segalanya," jelas Menteri Kelautan dan Perikanan.
Tahun 2015 tercatat ada sebanyak 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Kemudian KKP melakukan pergantian sebanyak 1.529 unit dengan alat tangkap ramah lingkungan dan proses tersebut masih terus berlanjut.
Pemerintah tidak hanya melarang cantrang tanpa solusi bagi nelayan, karena pemerintah telah menyediakan sejumlah langkah penanganan, seperti untuk kapal di bawah 10 GT, penggantian alat tangkap akan disediakan seluruhnya oleh pemerintah.
Adapun kapal 10-30 GT, pemerintah membantu fasilitas permodalan dari bank. Untuk kapal di atas 30 GT, pemerintah menyediakan WPP di Timur dan Barat yaitu laut Arafura dan Natuna yang dulu umumnya dikuasai asing.
Menteri Susi mengatakan, pemerintah juga telah memberikan tenggang waktu peralihan alat tangkap selama dua tahun kepada nelayan sehingga waktu tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin.
Adapun kapal 10-30 GT, pemerintah membantu fasilitas permodalan dari bank. Untuk kapal di atas 30 GT, pemerintah menyediakan WPP di Timur dan Barat yaitu laut Arafura dan Natuna yang dulu umumnya dikuasai asing.
Menteri Susi mengatakan, pemerintah juga telah memberikan tenggang waktu peralihan alat tangkap selama dua tahun kepada nelayan sehingga waktu tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin.
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.