Tujuh puluh orang membentuk formasi dua baris sejajar. Mereka, lelaki perempuan, tua muda, menyeret dua utas tali sepanjang seratus meter, seukuran tambang pengikat kapal berlabuh, untuk memindahkan sebongkah batu sekitar dua ton.
Pada sore yang terik itu, di desa Haharu, Waingapu, Nusa Tenggara Timur, lima ratusan warga menggaungkan raung kesedihan, ditimpa teriak pembakar semangat penghela batu kubur dalam prosesi ritus penguburan jasad Wulang Kamelaratu (70), pemeluk Marapu, aliran iman pribumi Sumba.
Dari kampung rumah duka menuju bukit kompleks pemakaman leluhur Marapu, kurang lebih seribu meter, gerak lambat arak-arakan itu menelan waktu sekitar satu jam.
Di lereng terjal memasuki liang pusara, para penghela nyaris gagal menarik ke atas cadas yang diselimuti kain tenun motif kuda Sumba. Mereka jeda sejenak. Dua timpani yang ditabuh dalam ritme lamban melambangkan irama kematian terus mengalun.
Dalam cucuran keringat, dalam terik senja yang bergeming tak berangin, para penghela batu kubur itu kembali berancang-ancang, mengerahkan tenaga tersisa, menunggu aba-aba.
Bagaikan ada kekuatan metafisik yang membantu, suara erangan serempak para penghela itu sanggup membuat benda yang bakal dikeramatkan itu bergerak, bergeser, sejengkal demi sejengkal, yang akhirnya sampai di tubir liang kubur.
Bongkahan batu putih kekungingan itu segera dipahat, dalam bentuk lempengan setebal 30 cm, sebagai penutup liang lahat setelah peti jasad laki-laki penghayat spiritualisme Sumba itu abadi disemayamkan di sana.
Roh Wulang Kamelaratu tak dibiarkan melanglang sendirian di alam arwah menuju Sang Penguasa Semesta. Roh itu, difantasikan seperti masih menyatu di jasadnya saat di dunia fana, perlu ditemani seekor kuda tunggang.
Itu sebabnya, sebelum penguburan rampung, belasan orang, melewati lintasan prosesi penarikan batu kubur, berjalan dalam iring-iringan mengikuti seekor kuda jantan yang diikat di leher dengan empat tali yang ujungnya dipegang empat lelaki, dua di sisi kanan, dua di sisi kiri.
Di jalan sebelum memasuki kompleks pemakaman kerabat bangsawan Marapu, iring-iringan bersama kuda itu berhenti. Keempat pria mengencangkan tali kendali. Kuda itu menggeleng-geleng. Seorang pria menghampiri, menghunus golok, menyabetkannya di leher hewan itu.
"Nyawa kuda itulah yang menjadi tunggangan roh Wulang Kamelaratu," tutur Yewa Patidangu (58), pemeluk Marapu yang kelima anaknya sudah murtad dari iman leluhur Sumba.
Kini daging kurban kuda dibagi-bagi, siapa pun yang berminat dipersilakan mengambil.
Di Pulau Sumba, yang berupa padang rumput luas, dengan bukit-bukit berbatu di sana-sini, ternak kuda mempunyai sejarah panjang dalam perikehidupan masyarakat di sana. Ketika jalan-jalan aspal belum dibangun dan kendaraan bermotor belum merasuki relung perkampungan warga, kuda menjadi sarana pengangkutan utama rakyat.
Yewa bercerita, dahulu kala, sebelum misionaris Belanda menebarkan kekristenan, mayoritas pribumi Sumba penganut kepercayaan Marapu.
Menurut kepercayaan ini, orang Sumba pertama bukan keturunan Adam dan Hawa, tapi langsung turun dari bulan.
Di desa-desa yang masih memegang teguh tradisi Marapu tulen, metode penguburan jasad sang pemeluk tak direbahkan di liang kubur. Tapi dikubur dalam posisi duduk, dengan kaki terlipat dalam pelukan tangan. Konon, posisi itu menyerupai bentuk posisi janin selagi dalam rahim sang ibu.
Namun, pengaruh kristenisasi yang kuat mengubah cara penguburan itu, setidaknya untuk komunitas Marapu di Haharu tempat kediaman Wulang Kemelaratu, yang dikubur dengan posisi rebah telentang, pada hari ke-18 setelah momen kematiannya.
Di keluarga bangsawan Marapu, arak-arakan penguburan jasad pengiman Marapu tak dilakukan segera setelah hari kematiaan. Penantian itu bisa berlangsung bertahun-tahun sejak hari kematian sang penghayat deisme, keyakinan kepada Tuhan yang tak terlembagakan dalam format agama itu.
Kini di keluarga Raja Kapunduk, penguasa komunitas Marapu di Haharu, ada tiga jasad yang tersimpan dalam peti, salah satu di antaranya tutup usia belasan tahun silam.
"Hari penguburannya menunggu saat segala persiapan sudah matang. Perlu perhitungan metafisik menentukan hari penguburan dan biaya besar untuk prosesi itu," kata Yewa, yang teguh dengan iman Marapunya meskipun ada ajakan untuk pindah keyakinan.
Di samping memeluk Kristen, anak-cucu penghayat Marapu juga banyak yang menjadi Muslim. Yang menjadi Kristen umumnya berlangsung melalui jalur pendidikan formal, lewat sekolah-sekolah Kristen atau Katolik, sementara yang menjadi Muslim diakibatkan oleh peristiwa pernikahan.
Juriah (52), misalnya, menjadi Muslim setelah bertemu suaminya yang beragama Islam. Ketika masih memeluk Marapu, Juriah punya nama Attajua.
Relasi antariman di Sumba berlangsung dalam harmoni. Tenggang rasa, toleransi begitu kuat. "Tak pernah ada perseleisihan karena perkara agama," ucap Yewa.
Risparia Ranggabani SH, salah satu kerabat keluarga bangsawan Marapu yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Waingapu mengatakan kehangatan kekerabatan antar pemeluk agama di Waingapu telah teruji dari waktu ke waktu.
Dalam jaringan keluarga besar di Sumba, kata perempuan yang disapa dengan Ibu Rambu itu, pertalian saudara dalam perbedaan agama itu lazim dan hal itulah yang menyebabkan kerukunan dalam relasi antaragama di sini.
Yewa menambahkan, bahkan dalam percaturan pemilihan kepala daerah, yang diwarnai dengan kompetisi berbagai partai politik, percekcokan ideologis pun tak pernah terjadi.
"Kami ini pada dasarnya satu saudara. Tak perlulah saling menyakiti dan membenci. Kita selayaknya saling membahagiakan satu sama lain," tuturnya.
Ada yang menarik dalam masyarakat Sumba. Para orang tua pemeluk Marapu tak pernah menghalang-halangi anak-anak mereka menyempal dari iman orang tua. Mereka membiarkan anak dan cucu memilih menjadi Kristiani atau Muslim.
Sebaliknya, anak-anak muda pengikut Kristen atau Islam itu tetap menghormati keyakinan leluhur.
"Mereka yang menarik batu kubur itu sebagian besar bukan pemeluk Marapu," kata Yewa.
Itulah bukti kebersamaan, kerukunan antarpemeluk iman di tanah Sumba.
Menyaksikan anak dan cucu hidup rukun membuat Yewa mengaku bersyukur, bahagia sekalipun dia sudah membayangkan bahwa suatu hari nanti, Marapu mungkin jadi legenda.
Pada sore yang terik itu, di desa Haharu, Waingapu, Nusa Tenggara Timur, lima ratusan warga menggaungkan raung kesedihan, ditimpa teriak pembakar semangat penghela batu kubur dalam prosesi ritus penguburan jasad Wulang Kamelaratu (70), pemeluk Marapu, aliran iman pribumi Sumba.
Dari kampung rumah duka menuju bukit kompleks pemakaman leluhur Marapu, kurang lebih seribu meter, gerak lambat arak-arakan itu menelan waktu sekitar satu jam.
Di lereng terjal memasuki liang pusara, para penghela nyaris gagal menarik ke atas cadas yang diselimuti kain tenun motif kuda Sumba. Mereka jeda sejenak. Dua timpani yang ditabuh dalam ritme lamban melambangkan irama kematian terus mengalun.
Dalam cucuran keringat, dalam terik senja yang bergeming tak berangin, para penghela batu kubur itu kembali berancang-ancang, mengerahkan tenaga tersisa, menunggu aba-aba.
Bagaikan ada kekuatan metafisik yang membantu, suara erangan serempak para penghela itu sanggup membuat benda yang bakal dikeramatkan itu bergerak, bergeser, sejengkal demi sejengkal, yang akhirnya sampai di tubir liang kubur.
Bongkahan batu putih kekungingan itu segera dipahat, dalam bentuk lempengan setebal 30 cm, sebagai penutup liang lahat setelah peti jasad laki-laki penghayat spiritualisme Sumba itu abadi disemayamkan di sana.
Roh Wulang Kamelaratu tak dibiarkan melanglang sendirian di alam arwah menuju Sang Penguasa Semesta. Roh itu, difantasikan seperti masih menyatu di jasadnya saat di dunia fana, perlu ditemani seekor kuda tunggang.
Itu sebabnya, sebelum penguburan rampung, belasan orang, melewati lintasan prosesi penarikan batu kubur, berjalan dalam iring-iringan mengikuti seekor kuda jantan yang diikat di leher dengan empat tali yang ujungnya dipegang empat lelaki, dua di sisi kanan, dua di sisi kiri.
Di jalan sebelum memasuki kompleks pemakaman kerabat bangsawan Marapu, iring-iringan bersama kuda itu berhenti. Keempat pria mengencangkan tali kendali. Kuda itu menggeleng-geleng. Seorang pria menghampiri, menghunus golok, menyabetkannya di leher hewan itu.
"Nyawa kuda itulah yang menjadi tunggangan roh Wulang Kamelaratu," tutur Yewa Patidangu (58), pemeluk Marapu yang kelima anaknya sudah murtad dari iman leluhur Sumba.
Kini daging kurban kuda dibagi-bagi, siapa pun yang berminat dipersilakan mengambil.
Di Pulau Sumba, yang berupa padang rumput luas, dengan bukit-bukit berbatu di sana-sini, ternak kuda mempunyai sejarah panjang dalam perikehidupan masyarakat di sana. Ketika jalan-jalan aspal belum dibangun dan kendaraan bermotor belum merasuki relung perkampungan warga, kuda menjadi sarana pengangkutan utama rakyat.
Yewa bercerita, dahulu kala, sebelum misionaris Belanda menebarkan kekristenan, mayoritas pribumi Sumba penganut kepercayaan Marapu.
Menurut kepercayaan ini, orang Sumba pertama bukan keturunan Adam dan Hawa, tapi langsung turun dari bulan.
Di desa-desa yang masih memegang teguh tradisi Marapu tulen, metode penguburan jasad sang pemeluk tak direbahkan di liang kubur. Tapi dikubur dalam posisi duduk, dengan kaki terlipat dalam pelukan tangan. Konon, posisi itu menyerupai bentuk posisi janin selagi dalam rahim sang ibu.
Namun, pengaruh kristenisasi yang kuat mengubah cara penguburan itu, setidaknya untuk komunitas Marapu di Haharu tempat kediaman Wulang Kemelaratu, yang dikubur dengan posisi rebah telentang, pada hari ke-18 setelah momen kematiannya.
Di keluarga bangsawan Marapu, arak-arakan penguburan jasad pengiman Marapu tak dilakukan segera setelah hari kematiaan. Penantian itu bisa berlangsung bertahun-tahun sejak hari kematian sang penghayat deisme, keyakinan kepada Tuhan yang tak terlembagakan dalam format agama itu.
Kini di keluarga Raja Kapunduk, penguasa komunitas Marapu di Haharu, ada tiga jasad yang tersimpan dalam peti, salah satu di antaranya tutup usia belasan tahun silam.
"Hari penguburannya menunggu saat segala persiapan sudah matang. Perlu perhitungan metafisik menentukan hari penguburan dan biaya besar untuk prosesi itu," kata Yewa, yang teguh dengan iman Marapunya meskipun ada ajakan untuk pindah keyakinan.
Di samping memeluk Kristen, anak-cucu penghayat Marapu juga banyak yang menjadi Muslim. Yang menjadi Kristen umumnya berlangsung melalui jalur pendidikan formal, lewat sekolah-sekolah Kristen atau Katolik, sementara yang menjadi Muslim diakibatkan oleh peristiwa pernikahan.
Juriah (52), misalnya, menjadi Muslim setelah bertemu suaminya yang beragama Islam. Ketika masih memeluk Marapu, Juriah punya nama Attajua.
Relasi antariman di Sumba berlangsung dalam harmoni. Tenggang rasa, toleransi begitu kuat. "Tak pernah ada perseleisihan karena perkara agama," ucap Yewa.
Risparia Ranggabani SH, salah satu kerabat keluarga bangsawan Marapu yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Waingapu mengatakan kehangatan kekerabatan antar pemeluk agama di Waingapu telah teruji dari waktu ke waktu.
Dalam jaringan keluarga besar di Sumba, kata perempuan yang disapa dengan Ibu Rambu itu, pertalian saudara dalam perbedaan agama itu lazim dan hal itulah yang menyebabkan kerukunan dalam relasi antaragama di sini.
Yewa menambahkan, bahkan dalam percaturan pemilihan kepala daerah, yang diwarnai dengan kompetisi berbagai partai politik, percekcokan ideologis pun tak pernah terjadi.
"Kami ini pada dasarnya satu saudara. Tak perlulah saling menyakiti dan membenci. Kita selayaknya saling membahagiakan satu sama lain," tuturnya.
Ada yang menarik dalam masyarakat Sumba. Para orang tua pemeluk Marapu tak pernah menghalang-halangi anak-anak mereka menyempal dari iman orang tua. Mereka membiarkan anak dan cucu memilih menjadi Kristiani atau Muslim.
Sebaliknya, anak-anak muda pengikut Kristen atau Islam itu tetap menghormati keyakinan leluhur.
"Mereka yang menarik batu kubur itu sebagian besar bukan pemeluk Marapu," kata Yewa.
Itulah bukti kebersamaan, kerukunan antarpemeluk iman di tanah Sumba.
Menyaksikan anak dan cucu hidup rukun membuat Yewa mengaku bersyukur, bahagia sekalipun dia sudah membayangkan bahwa suatu hari nanti, Marapu mungkin jadi legenda.
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.