Jakarta (ANTARA News) - Pengamat energi Mamit Setiawan menilai hasil negosiasi antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia sudah merupakan upaya maksimal.
"Penanganan negosiasi antara pemerintah dan PTFI kali ini membuahkan hasil lebih bagi Indonesia," katanya di Jakarta, Rabu.
"Penanganan negosiasi antara pemerintah dan PTFI kali ini membuahkan hasil lebih bagi Indonesia," katanya di Jakarta, Rabu.
Direktur Eksekutif Energy Watch itu, mengatakan polemik pengelolaan tambang oleh Freeport sudah dimulai saat pemerintah dan DPR mewajibkan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) atau pelarangan ekspor mineral mentah paling lambat lima tahun sejak diterbitkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Namun, lanjutnya, hingga jatuh tempo kewajiban tersebut pada Januari 2014, pemerintah mengalami dilema.
"Smelter Freeport belum terbangun sesuai kapasitas dan jika ekspor konsentrat dilarang, maka kegiatan operasi PTFI terhenti dan Papua dapat bergejolak," katanya.
Menurut dia, keputusan yang diambil pemerintah saat itu adalah relaksasi ekspor konsentrat dengan pengenaan bea keluar sebesar lima persen dan komitmen menyelesaikan "smelter" dalam waktu tiga tahun.
Setelah tiga tahun atau tepat Januari 2017, katanya, pemerintahan sekarang ini harus mengambil keputusan, meski melalui negosiasi panjang dan alot lebih dari 30 kali pertemuan.
"Namun, ada yang menarik dari keputusan kali ini, sehingga negara lebih berdaulat," katanya.
Melalui PP Nomor 1 Tahun 2017, lanjutnya, pemerintah era sekarang meminta 51 persen saham PTFI harus menjadi milik nasional, sehingga mayoritas kepemilikan PTFI adalah Indonesia.
"Dengan perundingan yang hampir enam bulan, akhirnya PTFI setuju untuk melepas mayoritas sahamnya dengan proses dan tata waktu yang ditetapkan lebih lanjut," ujarnya.
Ia menilai kewajiban divestasi 51 persen saham itu adalah upaya ekstra pemerintah, karena berdasarkan Pasal 77 ayat 1c PP Nomor 77 Tahun 2014 yang diterbitkan 14 Oktober 2014, kewajiban divestasi PTFI paling sedikit hanya 30 persen.
Mamit menambahkan dengan kewajiban divestasi 51 persen itu artinya masih ada 41,64 persen saham Freeport milik asing yang harus dilepas ke pihak Indonesia, baik pemerintah, BUMN, maupun swasta.
"Pemerintah harus membentuk tim penilai independen untuk menilai kewajaran nilai saham PTFI dan semua aset yang dimiliki oleh PTFI. Jangan sampai nilai yang ditawarkan oleh PTFI jauh dari nilai kewajaran seharusnya," katanya.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman pada Januari 2016, saat PTFI pernah menawarkan divestasi 10,64 persen dengan nilai 1,7 miliar dolar AS, nilai tersebut jelas tinggi, karena induk perusahaan dari PTFI sedang berdarah-darah di bursa saham Amerika.
Kondisi saat ini pun, lanjutnya, sebenarnya masih sama.
"Pemerintah mempunyai posisi lebih baik karena kondisi induk perusahaan PTFI dan PTFI sendiri sedang dalam kondisi menurun, sehingga seharusnya mereka tidak bisa terlalu menekan dan jual dengan harga yang mahal," katanya.
Mamit mengatakan hal yang diperlu dicermati sekarang adalah siapa calon pembeli potensial saham PTFI.
"Jangan sampai justru didapatkan oleh pemburu rente menjelang tahun politik 2019 nanti. Jangan sampai ada skandal papa-papa minta saham yang lain," ujarnya.
Menurut dia, divestasi 51 persen tersebut adalah suatu kebijakan besar yang membuat Indonesia nanti memiliki tambang Papua yang selama ini mayoritas dikuasai Freeport.
Mamit juga menambahkan keputusan beda lainnya dari pemerintah adalah relaksasi ekspor dengan bea keluar yang ditingkatkan dari lima persen menjadi 7,5 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010.2017.
Selain itu, lanjutnya, Freeport pun wajib menyelesaikan pembangunan "smelter" dalam lima tahun yang progresnya dievaluasi setiap enam bulan oleh verifikator indenpenden.
Bahkan, PTFI mau mengubah bentuk pengusahaan operasi dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), sehingga negara memiliki kedudukan lebih tinggi terhadap pemegang izin.
"Setelah kontrak karya generasi pertama PTFI ditandatangani tahun 1967, saatnya sekarang Indonesia yang lebih berdaulat di negeri sendiri," kata Mamit.
Namun, lanjutnya, hingga jatuh tempo kewajiban tersebut pada Januari 2014, pemerintah mengalami dilema.
"Smelter Freeport belum terbangun sesuai kapasitas dan jika ekspor konsentrat dilarang, maka kegiatan operasi PTFI terhenti dan Papua dapat bergejolak," katanya.
Menurut dia, keputusan yang diambil pemerintah saat itu adalah relaksasi ekspor konsentrat dengan pengenaan bea keluar sebesar lima persen dan komitmen menyelesaikan "smelter" dalam waktu tiga tahun.
Setelah tiga tahun atau tepat Januari 2017, katanya, pemerintahan sekarang ini harus mengambil keputusan, meski melalui negosiasi panjang dan alot lebih dari 30 kali pertemuan.
"Namun, ada yang menarik dari keputusan kali ini, sehingga negara lebih berdaulat," katanya.
Melalui PP Nomor 1 Tahun 2017, lanjutnya, pemerintah era sekarang meminta 51 persen saham PTFI harus menjadi milik nasional, sehingga mayoritas kepemilikan PTFI adalah Indonesia.
"Dengan perundingan yang hampir enam bulan, akhirnya PTFI setuju untuk melepas mayoritas sahamnya dengan proses dan tata waktu yang ditetapkan lebih lanjut," ujarnya.
Ia menilai kewajiban divestasi 51 persen saham itu adalah upaya ekstra pemerintah, karena berdasarkan Pasal 77 ayat 1c PP Nomor 77 Tahun 2014 yang diterbitkan 14 Oktober 2014, kewajiban divestasi PTFI paling sedikit hanya 30 persen.
Mamit menambahkan dengan kewajiban divestasi 51 persen itu artinya masih ada 41,64 persen saham Freeport milik asing yang harus dilepas ke pihak Indonesia, baik pemerintah, BUMN, maupun swasta.
"Pemerintah harus membentuk tim penilai independen untuk menilai kewajaran nilai saham PTFI dan semua aset yang dimiliki oleh PTFI. Jangan sampai nilai yang ditawarkan oleh PTFI jauh dari nilai kewajaran seharusnya," katanya.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman pada Januari 2016, saat PTFI pernah menawarkan divestasi 10,64 persen dengan nilai 1,7 miliar dolar AS, nilai tersebut jelas tinggi, karena induk perusahaan dari PTFI sedang berdarah-darah di bursa saham Amerika.
Kondisi saat ini pun, lanjutnya, sebenarnya masih sama.
"Pemerintah mempunyai posisi lebih baik karena kondisi induk perusahaan PTFI dan PTFI sendiri sedang dalam kondisi menurun, sehingga seharusnya mereka tidak bisa terlalu menekan dan jual dengan harga yang mahal," katanya.
Mamit mengatakan hal yang diperlu dicermati sekarang adalah siapa calon pembeli potensial saham PTFI.
"Jangan sampai justru didapatkan oleh pemburu rente menjelang tahun politik 2019 nanti. Jangan sampai ada skandal papa-papa minta saham yang lain," ujarnya.
Menurut dia, divestasi 51 persen tersebut adalah suatu kebijakan besar yang membuat Indonesia nanti memiliki tambang Papua yang selama ini mayoritas dikuasai Freeport.
Mamit juga menambahkan keputusan beda lainnya dari pemerintah adalah relaksasi ekspor dengan bea keluar yang ditingkatkan dari lima persen menjadi 7,5 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010.2017.
Selain itu, lanjutnya, Freeport pun wajib menyelesaikan pembangunan "smelter" dalam lima tahun yang progresnya dievaluasi setiap enam bulan oleh verifikator indenpenden.
Bahkan, PTFI mau mengubah bentuk pengusahaan operasi dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), sehingga negara memiliki kedudukan lebih tinggi terhadap pemegang izin.
"Setelah kontrak karya generasi pertama PTFI ditandatangani tahun 1967, saatnya sekarang Indonesia yang lebih berdaulat di negeri sendiri," kata Mamit.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.