Implementasi reformasi struktural akan menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang makin solid pada jangka menengah."
Jakarta (ANTARA News) - Perekonomian Indonesia pada 2017 masih dibayangi sekaligus dipengaruhi masih lemahnya perekonomian global.
Terpilihya Donald J. Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dinilai banyak kalangan makin memunculkan ketidakpastian dalam pemulihan ekonomi global.
Meski demikian, perekonomian di Indonesia dinilai masih cukup lentur dalam menyesuaikan dan merespons berlanjutnya risiko ekonomi global.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengajak masyarakat untuk optimistis bahwa perekonomian Indonesia bakal lebih baik karena sejumlah data makro di penghujung 2016 lebih baik dibanding negara lain di tengah ketidakpastian global.
"Kenapa harus pesimistis? Masalah kita ada di daya saing dan produktivitas. Kita harus fokus membenahinya," kata Presiden Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) 2016, Selasa malam (22/11).
Di depan bankir, ekonom, analis serta sejumlah pelaku ekonomi di Indonesia, Presiden Jokowi mengatakan bahwa untuk memperbaiki daya saing, pemerintah fokus memberantas korupsi dan pungutan liar, mengatasi inefisiensi birokrasi, dan mengatasi ketertinggalan pembangunan infrastruktur.
Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah mengubah perilaku konsumtif ke perilaku produktif, antara lain dengan memotong subsidi bahan bakar minyak.
Sementara itu, Gubernur BI Agus DW Martowardojo dalam pertemuan bertema "Mengoptimalkan Potensi, Memperkuat Resiliensi" itu mengatakan, ekonomi Indonesia sampai dengan Triwulan III 2016 masih bertumbuh 5,2 persen (year on year/yoy).
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini sekitar 5,0 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 5,2 hingga 5,6 persen. Angka perkiraan itu tetap mengesankan bila dibandingkan dengan capaian negara lain.
Data BI juga menunjukkan kelenturan ekonomi Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh permintaan domestik. Hingga triwulan III 2016, permintaan domestik masih dalam tren meningkat sehingga dapat meminimalkan dampak menurunnya kinerja ekonomi eksternal.
Selain itu, BI mencatat bahwa inflasi juga terjaga dalam tingkat rendah dan stabil. BI memperkirakan inflasi tahun ini pada kisaran 3,0-3,2 persen, lebih rendah dari capaian 2015 yang sebesar 3,4 persen.
Agus mengatakan prospek kondisi ekonomi global yang belum akan pulih dan berbagai risiko lain yang mengikutinya di harga komoditas adan pasar keuangan, masih akan menjadi tantangan bagi perekonomian nasional.
"Tantangan yang perlu kembali kita carikan solusi yang lebih mendasar agar pengaruh kondisi global tersebut tidak berdampak signifikan ke ekonomi domestik," katanya.
Ia mengatakan, Indonesia masih menghadapi tantangan jangka pendek yang berasal dari pengaruh stimulus fiskal yang belum secara merata dapat menarik peran swasta untuk berinvestasi.
Selain itu, dikemukakannya, juga tantangan struktural domestik yang belum terselesaikan dan berpotensi menghambat pemulihan ekonomi.
Agus mengatakan bahwa BI mendukung langkah pemerintah menjaga keseimbangan antara penguatan peran belanja pemerintah.
Langkah untuk tetap meningkatkan komposisi belanja modal, dinyatakannya, khususnya proyek infrastruktur, tetap perlu dipertahankan karena dipelukan untuk menjaga stabilitas perekonomian, sekaligus memastikan efisiensi alokasi sumber daya yang dimiliki.
Ekonomi 2017
Agus Martowardojo mengatakan bahwa pada 2017 pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan mencapai 5,0-5,4 persen, dengan strktur perekonomian yang lebih banyak ditopang permintaan domestik.
Sementara itu, BI mencatat inflasi akan berada dalam kisaran targetnya sebesar 4,0 persen plus minus satu persen.
Selain itu, BI memperkirakan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada 2017 adalam kisaran 9-11 persen, kredit dan pembiayaan perbankan dalam kisaran 10-12 persen.
Sedangakan, BI memperhitungkan defisit transaksi berjalan diperkirakan sedikit meningkat sejalan dengan intensifnya proyek-proyek infrastruktru, namun tetap pada level sehat di bawah 3,0 persen.
"Dengan resiliensi yang lebih kuat, perekonomian 2017 akan menjadi titik balik pertumbuhan ekonomi yang lebih kokoh. Implementasi reformasi struktural akan menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang makin solid pada jangka menengah," katanya.
Dalam semangat bersinergi, Agus menjelaskan, BI akan mengoptimalkan bauran kebijakan untuk memperkuat stabilitas perekonomian dan secara konsisten mengarahkan bauran kebijakan itu untuk menjaga stabilitas makro ekonomi.
BI juga akan terus mendorong efisiensi pasar kauangan dan sistem pembayaran guna memberikan fondasi yang kuat bagi peningkatan efisiensi dan daya saing perekonomian.
Dalam kebijakan moneter, BI secara konsisten akan menempuh kebijakan untuk mengendalikan inflasi agar sesuai dengan sasarannya dan menjaga defisit transaksi berjalan pada tingkat yang aman.
Berkaitan dengan itu, maka BI akan mulai memperkenalkan sistem Giro Wajib Minimum (GWM) Averaging pada 2017. GWM Averaging hanya mewajibkan bank untuk memilihara rata-rata kecukupan GWM dalam satu periode.
Dengan kebijakan ini, maka BI mengharapkan transaksi antarbank akan makin aktif, gejolak suku bunga dapat lebih terkendali, dan transmisi kebijakan moneter makin kuat.
Dalam rangka penguatan operasi moneter, BI pun akan melakukan penggantian Sertifikat BI dengan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen moneter secara gradual.
Guna mendukung kebijakan nilai tukar rupiah, maka BI akan menginisiasi transaksi lindung nilai kepada BI yang mengakomodasi transaksi valas dalam denominasi dolar AS dan non-dolar AS. Selain itu, BI melakukan kerja sama bilateral dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
BI juga akan mengambil sejunlah inisiatif prioritas untuk mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, antara lain dengan mengembangkan instrumen pasar uang, pasar valas, dan penguatan koordinasi dengan otoritas terkait dalam rangka pengembangan pasar modal.
Selain itu, BI juga memperluas basis pelaku pasar keuangan serta mengembangkan infrastruktur dalam rangka mngurangi segmentasi dan memperkuat segmentasi risiko dalam transaksi keuangan.
Kebijakan makroprudensial pada 2017 akan terus diarahkan untuk menjaga resiliensi sistem keuangan. Selain pengaturan makroprudensial terhadap perbankan, BI juga akan memperkuat asesmen dan pemantauan terhadap seluruh pelaku sistem keuangan.
Berkaitan dengan diterbitkannya Undang-Undang (UU) Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), BI akan memperkuat sensitivitas dan kalibrasi sejumlah indikator peringatan dini (early warning indicators) dan potensi opsi kebijakan di bidang moneter maupun nilai tukar, sistem pembayaran dan makroprudensial.
Dalam upaya mendukung akselerasi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, BI akan meluncurkan cetak biru pengembangan ekonomi dan leuangan syariah pada akhir Desember 2016.
Programnya pun difokuskan di sisi penguatan sektor keuangan sosial syariah (Islamic social finance), seperti zakat dan wakaf maupun pendalaman pasar kauangan syariah dengan mendorong implementasi Sukuk Linked Wakaf.
Sejalan dengan komitmen pemerintah, BI juga memberikan perhatian khusus kepada pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) antara lain dengan meningkatkan intermediasi perbankan kepada UMKM, melaksanakan perluasan dan pendalaman infrastruktur kredit UMKM.
Di bidang sistem pembayaran, maka BI arah kebijakannya akan diwujudkan dalam langkah memperkuat unsur kelembagaan dan infrastruktur sistem pembayaran domestik serta mendorong inklusi keuangan.
Terkait dengan upaya mendorong inklusi keuangan, BI akan terus memperluas akses keuangan dan meningkatkan efiensi dengan mengitegrasikan ekosistem non-tunai elektronik dalam program dan layanan pemerintah.
"Berbagai kebijakan yang akan ditempuh BI tentunya akan disinergikan dan dikoordinasikan dengan berbagai pemangku kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, agar terlaksana dengan efektif," demikian Agus DW Martowardojo.
Terpilihya Donald J. Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dinilai banyak kalangan makin memunculkan ketidakpastian dalam pemulihan ekonomi global.
Meski demikian, perekonomian di Indonesia dinilai masih cukup lentur dalam menyesuaikan dan merespons berlanjutnya risiko ekonomi global.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengajak masyarakat untuk optimistis bahwa perekonomian Indonesia bakal lebih baik karena sejumlah data makro di penghujung 2016 lebih baik dibanding negara lain di tengah ketidakpastian global.
"Kenapa harus pesimistis? Masalah kita ada di daya saing dan produktivitas. Kita harus fokus membenahinya," kata Presiden Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) 2016, Selasa malam (22/11).
Di depan bankir, ekonom, analis serta sejumlah pelaku ekonomi di Indonesia, Presiden Jokowi mengatakan bahwa untuk memperbaiki daya saing, pemerintah fokus memberantas korupsi dan pungutan liar, mengatasi inefisiensi birokrasi, dan mengatasi ketertinggalan pembangunan infrastruktur.
Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah mengubah perilaku konsumtif ke perilaku produktif, antara lain dengan memotong subsidi bahan bakar minyak.
Sementara itu, Gubernur BI Agus DW Martowardojo dalam pertemuan bertema "Mengoptimalkan Potensi, Memperkuat Resiliensi" itu mengatakan, ekonomi Indonesia sampai dengan Triwulan III 2016 masih bertumbuh 5,2 persen (year on year/yoy).
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini sekitar 5,0 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 5,2 hingga 5,6 persen. Angka perkiraan itu tetap mengesankan bila dibandingkan dengan capaian negara lain.
Data BI juga menunjukkan kelenturan ekonomi Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh permintaan domestik. Hingga triwulan III 2016, permintaan domestik masih dalam tren meningkat sehingga dapat meminimalkan dampak menurunnya kinerja ekonomi eksternal.
Selain itu, BI mencatat bahwa inflasi juga terjaga dalam tingkat rendah dan stabil. BI memperkirakan inflasi tahun ini pada kisaran 3,0-3,2 persen, lebih rendah dari capaian 2015 yang sebesar 3,4 persen.
Agus mengatakan prospek kondisi ekonomi global yang belum akan pulih dan berbagai risiko lain yang mengikutinya di harga komoditas adan pasar keuangan, masih akan menjadi tantangan bagi perekonomian nasional.
"Tantangan yang perlu kembali kita carikan solusi yang lebih mendasar agar pengaruh kondisi global tersebut tidak berdampak signifikan ke ekonomi domestik," katanya.
Ia mengatakan, Indonesia masih menghadapi tantangan jangka pendek yang berasal dari pengaruh stimulus fiskal yang belum secara merata dapat menarik peran swasta untuk berinvestasi.
Selain itu, dikemukakannya, juga tantangan struktural domestik yang belum terselesaikan dan berpotensi menghambat pemulihan ekonomi.
Agus mengatakan bahwa BI mendukung langkah pemerintah menjaga keseimbangan antara penguatan peran belanja pemerintah.
Langkah untuk tetap meningkatkan komposisi belanja modal, dinyatakannya, khususnya proyek infrastruktur, tetap perlu dipertahankan karena dipelukan untuk menjaga stabilitas perekonomian, sekaligus memastikan efisiensi alokasi sumber daya yang dimiliki.
Ekonomi 2017
Agus Martowardojo mengatakan bahwa pada 2017 pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan mencapai 5,0-5,4 persen, dengan strktur perekonomian yang lebih banyak ditopang permintaan domestik.
Sementara itu, BI mencatat inflasi akan berada dalam kisaran targetnya sebesar 4,0 persen plus minus satu persen.
Selain itu, BI memperkirakan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada 2017 adalam kisaran 9-11 persen, kredit dan pembiayaan perbankan dalam kisaran 10-12 persen.
Sedangakan, BI memperhitungkan defisit transaksi berjalan diperkirakan sedikit meningkat sejalan dengan intensifnya proyek-proyek infrastruktru, namun tetap pada level sehat di bawah 3,0 persen.
"Dengan resiliensi yang lebih kuat, perekonomian 2017 akan menjadi titik balik pertumbuhan ekonomi yang lebih kokoh. Implementasi reformasi struktural akan menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang makin solid pada jangka menengah," katanya.
Dalam semangat bersinergi, Agus menjelaskan, BI akan mengoptimalkan bauran kebijakan untuk memperkuat stabilitas perekonomian dan secara konsisten mengarahkan bauran kebijakan itu untuk menjaga stabilitas makro ekonomi.
BI juga akan terus mendorong efisiensi pasar kauangan dan sistem pembayaran guna memberikan fondasi yang kuat bagi peningkatan efisiensi dan daya saing perekonomian.
Dalam kebijakan moneter, BI secara konsisten akan menempuh kebijakan untuk mengendalikan inflasi agar sesuai dengan sasarannya dan menjaga defisit transaksi berjalan pada tingkat yang aman.
Berkaitan dengan itu, maka BI akan mulai memperkenalkan sistem Giro Wajib Minimum (GWM) Averaging pada 2017. GWM Averaging hanya mewajibkan bank untuk memilihara rata-rata kecukupan GWM dalam satu periode.
Dengan kebijakan ini, maka BI mengharapkan transaksi antarbank akan makin aktif, gejolak suku bunga dapat lebih terkendali, dan transmisi kebijakan moneter makin kuat.
Dalam rangka penguatan operasi moneter, BI pun akan melakukan penggantian Sertifikat BI dengan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen moneter secara gradual.
Guna mendukung kebijakan nilai tukar rupiah, maka BI akan menginisiasi transaksi lindung nilai kepada BI yang mengakomodasi transaksi valas dalam denominasi dolar AS dan non-dolar AS. Selain itu, BI melakukan kerja sama bilateral dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
BI juga akan mengambil sejunlah inisiatif prioritas untuk mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, antara lain dengan mengembangkan instrumen pasar uang, pasar valas, dan penguatan koordinasi dengan otoritas terkait dalam rangka pengembangan pasar modal.
Selain itu, BI juga memperluas basis pelaku pasar keuangan serta mengembangkan infrastruktur dalam rangka mngurangi segmentasi dan memperkuat segmentasi risiko dalam transaksi keuangan.
Kebijakan makroprudensial pada 2017 akan terus diarahkan untuk menjaga resiliensi sistem keuangan. Selain pengaturan makroprudensial terhadap perbankan, BI juga akan memperkuat asesmen dan pemantauan terhadap seluruh pelaku sistem keuangan.
Berkaitan dengan diterbitkannya Undang-Undang (UU) Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), BI akan memperkuat sensitivitas dan kalibrasi sejumlah indikator peringatan dini (early warning indicators) dan potensi opsi kebijakan di bidang moneter maupun nilai tukar, sistem pembayaran dan makroprudensial.
Dalam upaya mendukung akselerasi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, BI akan meluncurkan cetak biru pengembangan ekonomi dan leuangan syariah pada akhir Desember 2016.
Programnya pun difokuskan di sisi penguatan sektor keuangan sosial syariah (Islamic social finance), seperti zakat dan wakaf maupun pendalaman pasar kauangan syariah dengan mendorong implementasi Sukuk Linked Wakaf.
Sejalan dengan komitmen pemerintah, BI juga memberikan perhatian khusus kepada pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) antara lain dengan meningkatkan intermediasi perbankan kepada UMKM, melaksanakan perluasan dan pendalaman infrastruktur kredit UMKM.
Di bidang sistem pembayaran, maka BI arah kebijakannya akan diwujudkan dalam langkah memperkuat unsur kelembagaan dan infrastruktur sistem pembayaran domestik serta mendorong inklusi keuangan.
Terkait dengan upaya mendorong inklusi keuangan, BI akan terus memperluas akses keuangan dan meningkatkan efiensi dengan mengitegrasikan ekosistem non-tunai elektronik dalam program dan layanan pemerintah.
"Berbagai kebijakan yang akan ditempuh BI tentunya akan disinergikan dan dikoordinasikan dengan berbagai pemangku kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, agar terlaksana dengan efektif," demikian Agus DW Martowardojo.
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2016
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.