Jakarta  (ANTARA News) - BPJS Ketenagakerjaan mengaji kepesertaan 27 juta pekerja rentan (pekerja informal) menjadi peserta jaminan sosial dengan menggunakan sumber dana yang lain (di luar pemberi kerja/ perusahaan).

BPJS Ketenagakerjaan, di Jakarta, Senin, mengadakan FGD (focus group discussion) dengan kalangan pemerintah, akademisi, pengusaha dan lainnya untuk mencari solusi bagi pekerja rentan tersebut.

Direktur Pengembangan Strategis & TI BPJS Ketenagakerjaan Sumarjono mengatakan, kepesertaan pekerja rentan sangat memprihatinkan karena upah mereka tidak mencukupi untuk membayar iuran meskipun besarannya secara nominal relatif kecil.

"Permasalahannya, sebagian besar upah yang diterima habis untuk makan, transportasi, bayar kontrakan dan keperluan lainnya," kata Sumarjono.

Sementara, jika mereka sakit atau mengalami kecelakaan  kerja, maka langsung jatuh miskin absolut karena upah yang dimiliki tidak mencukupi untuk pengobatan.

"Jadi, kepesertaan mereka dalam program Jaminan Kecelakaan  Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) adalah jaring pengaman agar sekeluarga tidak jatuh miskin," ujarnya.

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) yang juga Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI Teguh Dartanto, pada kesempatan yang sama mengatakan terdapat 27 juta pekerja rentan.

Ia merancang kepesertaan mereka secara bertahap, yakni 10 persen pekerja berupah terendah maka dibutuhkan anggaran Rp1,3 triliun dalam setahun. Angka itu dinilainya relatif kecil atau 0,05 persen dari APBN 2019.

Sementara Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial, Bappenas, Maliki PhD, mengatakan perlu skala prioritas untuk mengatasi pekerja rentan.

Jika, dinilai dari sudut anggaran, jumlahnyya relatif kecil jika dibandingkan APBN, tetapi harus dikaji juga dari sudut upaya mencegah penduduk jatuh ke kategori miskin jika mengalami kecelakaan, lalu sakit, cacat atau meninggal.

Untuk itu, ujarnya, diperlukan kajian akademis untuk melihat manfaat kepesertaan pekerja rentan dalam program jaminan sosial dan daya ungkit mereka untuk survive menjadi pekerja yang berhasil mengangkat perekonomian keluarga dan lingkungannya.

Dia memperkirakan penyisihan dana dari APBN bisa dilakukan pada 2020 setelah kajian, dasar hukum dan persetujuan pemerintah dituntaskan pada 2019.

Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengimpikan setiap anak Indonesia lahir dengan pencatatan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan secara otomatis, sehingga mereka terlindungi secara dini seperti di Swedia.

"Itu mimpi saya. Secara sistem hal itu sangat dimungkinkan, hanya saja perlu kajian sumber anggaran, koordinasi dengan pihak terkait dan kesiapan sosial masyarakat dalan melaksanakannya," ucap Agus.


Baca juga: Desa Lerep terbaik nasional Jamsos Ketenagakerjaan 2018
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan-Kemenaker siapkan perlindungan komprehensif TKI


 
Pewarta: Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Dewanti Lestari
COPYRIGHT © ANTARA 2018