Mereka adalah etnis yang paling menderita, demikian PBB menggambarkan tentang Rohingya. Hidup bagi mereka adalah melarikan diri berhari-hari hingga berminggu-minggu dari tanah kelahiran mereka, membawa sisa harapan hidup.
Hidup bagi mereka adalah selamat dari panasnya si jago merah yang dengan sengaja dikobarkan militer Myanmar untuk membumihanguskan rumah-rumah mereka, lolos dari kejinya perkosaan, dan selamat dari selongsong peluru yang bertebaran secara brutal.
Bisa tidur di bawah lindungan atap terpal dan mengganjal perut dengan makanan adalah hidup bagi pengungsi Rohingya saat ini.
"I don't feel like i have a dream. Karena setiap manusia punya spirit, soul, untuk menjadi sama seperti warga negara yang lain di dunia. Punya kebebasan melakukan yang mereka suka. But, what to do? Ini nasib kami," kata salah satu pengungsi Rohingya, Humidor, kepada ANTARA News.
Humidor merupakan pengungsi Rohingya yang mendapatkan gelar sarjana dari ilmu Islam dan Alquran, serta sempat mengambil kursus pendek jurnalistik. Selama ini ia aktif menyuarakan nasib etnis Rohingya lewat blog.
"Kami tidak mendapatkan hak dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Kami tidak punya tempat untuk hidup, lahan kami dirampas, hidup di pengungsian," lanjut Humidor.
Pengungsi Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. Hidup di kamp pengungsian menurut Humidor tidak memberikan harapan. Terutama bagi anak-anak Rohingya yang masih harus memulai perjalanan hidup yang panjang.
"Masa depan mereka suram," ujarnya.
"Pengungsi meninggal bertambah, hidup kesulitan makan, penyakit mengancam. Ini akan semakin buruk dan buruk setiap hari," kata Humidor.
Meski demikian, Humidor menyebut pengungsi Rohingya mempunyai motivasi hidup yang tinggi walau dalam penderitaan.
Dan apa yang disebut Humidor juga terasa di tiap-tiap gang pengungsian saat ANTARA News berkesempatan mengunjungi kompleks kamp pengungsian Rohingya terbesar di Kutupalong.
Setelah berbulan-bulan warga Rohingya memulai hidup sebagai pengungsi dan menyimpan trauma masing-masing atas apa saja yang mereka alami di Myanmar, mereka mencoba bertahan hidup.
"Rohingya sudah didiskriminasi sejak 1962. Sejak itu mereka tidak mendapat akses penuh seperti masyarakat Myanmar lainnya," ungkap Humidor.
Mencoba bertahan hidup
Tanaman cabe yang hijau di antara tanah yang gersang membuat kami berhenti sebentar saat sedang menyusuri kamp pengungsian Madhuchara.
Dua bocah Rohingya sedang memandangi daun cabe yang mulai tumbuh di sudut tenda pengungsian tempat mereka tinggal. Tidak lupa mereka melindungi tanaman cabe tersebut dengan pagar bambu yang sudah dipotong-potong.
Tanaman cabe yang baru tumbuh itu seperti melambangkan semangat baru orang-orang Rohingya di kamp pengungsian, semangat untuk melanjutkan hidup dan mengatasi trauma yang membayangi mereka.
Tawa riang anak-anak Rohingya kerap terdengar di sekitar kamp pengungsian. Mereka berbaur, bermain, juga mengaji. Di lahan kosong yang cukup luas, anak-anak bermain bola atau voli. Mereka juga cukup kreatif menciptakan permainan dari apa saja, bahkan dari plastik sisa bungkus makanan.
Yang menarik, para remaja putri terlihat memoles wajah mereka dengan riasan wajah yang cukup tebal. Saat ANTARA News mencoba memotretnya, beberapa dari mereka langsung lari sambil tersipu malu.
"Riasannya dapat dari mana?" tanya kami kepada salah satu remaja putri dengan bantuan penerjemah bernama Saiful.
"Beli di pasar," ujarnya.
Menurut Saiful, merias wajah yang cukup tebal, dengan polesan blush on di pipi, maskara, eyeshadow warna warni menghias mata mereka yang indah, dan lipstik yang merah merona sudah menjadi tradisi bagi kaum remaja putri di sana.
Setiap ada tamu yang mendatangi kamp pengungsian, anak-anak pengungsi Rohingya tidak sungkan menyapa atau sekadar memberi senyum. Gerombolan anak-anak mengikuti kami kemanapun kami berjalan. Membuat perasaan yang lebih baik bagi siapa saja yang datang, walaupun harus menyaksikan pemandangan kehidupan yang menyesakkan dada.
Ya, tidak sedikit pengungsi yang membuka warung makanan dadakan di depan tenda mereka. Biasanya, makanan tersebut mereka beli di pasar Ukhiyah, yang berada tidak jauh dari jalan masuk menuju kamp pengungsi Kutupalong.
Bahkan ada satu anak bernama Muhammad Ayas yang berjualan menggunakan sepeda. Bocah berusia 14 tahun itu menyewa sepeda dari seorang Bangladesh. Ia berjualan makanan dan bahan-bahan masakan dengan berkeliling ke kamp-kamp pengungsian sejak pagi hingga sore.
"Anak-anak sudah terlihat ceria. Kalau dulu (awal tiba di tempat pengungsian), tidak ada anak yang terlihat bermain," Manajer Program Global Humanity Response organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Anca Rahadiansyah.
Anca sudah tiba di kamp pengungsian sejak awal September. Ia masih menyaksikan asap-asap rumah yang terbakar membumbung di udara dari tepi Sungai Naf di perbatasan Bangladesh-Myanmar.
Menurut Anca, lembaga kemanusiaan tempat ia bernaung juga menyediakan klinik di Tengkali, Cox's Bazar dekat kamp pengungsian.
Tim medis juga berkeliling ke posko-posko pengungsian. Mereka memberikan pelayanan kesehatan, trauma healing, pembangunan mental, serta edukasi kesehatan seperti pelatihan cuci tangan dan sikat gigi.
Relawan Dokter ACT Arini Retno Palupi mengatakan sejumlah pengungsi Rohingya yang mengalami trauma berangsur-angsur pulih.
"Banyak perempuan yang menjadi janda bahkan menyaksikan bagaimana suami mereka dibunuh, dibakar, dan digantung. Mereka mengalami trauma dan pada awalnya tidak mau keluar tenda. Tetapi setelah mengikuti pemulihan, mereka mulai terbuka, saling bercerita dan menguatkan," ungkap Dokter Arini.
ANTARA News terus menyusuri kamp pengungsian. Seorang pemuda Rohingya sedang sibuk mengagumi potongan rambut barunya di kaca, model potongan rambut yang cukup kekinian.
"Darimana dapat model rambut seperti itu?" tanya ANTARA News.
Dia kemudian menunjuk ke temannya yang sedang sibuk mencukur rambut pemuda lainnya. Tukang cukur tersebut ternyata tadinya memang berprofesi sebagai tukang cukur saat masih tinggal di Myanma
Pengungsi Rohingya tidak lagi bergantung pada makanan yang mereka dapat dari bantuan yang didistribusikan militer Bangladesh. Ibu-ibu sudah memasak di dapur tenda pengungsi mereka.
Kehidupan di kamp pengungsian juga terlihat sibuk karena para lelaki memperbaiki tenda-tenda pengungsian agar lebih nyaman untuk ditempati dari bahan-bahan yang disumbang berbagai lembaga kemanusiaan, seperti bambu, terpal, dan atap seng.
Hanya saja, gaya hidup yang sehat sepertinya masih harus diperjuangkan di sana. Di sepanjang jalan tidak jarang ditemukan kotoran-kotoran manusia yang berserakan meskipun sudah disediakan WC umum. Terlihat juga anak-anak mencuci baju di kali yang airnya berwarna sangat keruh, kadang mereka sekalian mandi dan cuci muka di sana.
"Sejak menjadi pencari suaka, konsep hidup sehat dan bersih mereka berubah. Yang penting bisa hidup. Maka kami memberikan edukasi kesehatan agar mereka menjalani hidup sehat dan bersih," tambahnya.
Di tengah kehidupan pengungsi Rohingya yang mulai menggeliat di kamp pengungsian, isu repatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar terdengar sayup-sayup. Cenderung diacuhkan karena mereka sudah tidak percaya dengan pemerintah Myanmar.
"Saya tidak percaya pemerintah Myanmar, karena ini sudah menjadi sejarah yang panjang tentang kebohongan mereka, sejak Myanmar mendapat kemerdekaan pada tahun 1947," kata Humidor.
"Menurut saya repatriasi bukan hal yang tepat saat ini untuk kami, terutama setelah puncak kekerasan yang mereka lakukan terhadap etnis Rohingya tahun ini. Myanmar belum menyiapkan apa-apa, sementara pengungsi sudah tidak memiliki apa-apa. Apa fasilitas yang akan mereka berikan? Apakah lahan-lahan dan properti warga Rohingya akan diberikan kembali ke mereka? Ini belum selesai," jelas Humidor.
Ia mengatakan saat ini pengungsi Rohingya hidup dalam kondisi memprihatinkan meskipun ditampung dalam pengungsian.
"Mereka hanya bisa bertahan hidup saja. Ini lah kenapa saya bilang belum saatnya pemulangan pengungsi sekarang. Karena saya pesimistis pemerintah Myanmar dapat memberikan hak-hak kami, fasilitas, dan memberikan rasa optimis kepada kami," ujar pria berusia 30 tahun itu.
Humidor dan pengungsi Rohingya hanya berharap, mereka mendapat hak dan martabat seutuhnya sebagai manusia dan warga negara seperti masyarakat dunia lainnya.
Tetapi yang bisa mereka lakukan sekarang hanya mencoba bertahan hidup.
VIDEO:
Baca juga rangkaian Laporan dari Bangladesh berikut:
Oleh Monalisa
Editor: Unggul Tri Ratomo
COPYRIGHT © ANTARA 2017
Editor: Unggul Tri Ratomo
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.