Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dan China tengah menjajaki kerja sama dalam upaya pengelolaan limbah yang berasal dari peralatan elektronik (electronic waste atau e-waste) dan bahan pencemar organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants/POPs). 
“Salah satu langkah strategis di dalam 10 agenda prioritas roadmap tersebut, yakni mengakomodasi standar-standar keberlanjutan,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Ngakan Timur Antara melalui keterangannya di Jakarta, Jumat.
Di samping itu, industri elektronika merupakan salah satu dari lima sektor prioritas yang dipilih untuk mengimplementasikan revolusi industri 4.0 di Indonesia.
Ngakan menyampaikan hal itu sebagai hasil pertemuannya dengan Delegasi Pemerintah China yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri, Kementerian Ekologi dan Perlindungan Lingkungan China, Chen Liang di Bogor.
“Ini merupakan kunjungan balasan mereka, setelah kami melakukan kunjungan kerja ke China pada Oktober tahun lalu,” jelasnya.
Hadir pula Assistant Country Director United Nations Development Programme (UNDP) China, Wan Yang. 
Sedangkan dari Indonesia, hadir pula Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Senior Programme Manager UNDP Indonesia, Anton Sri Probiyantono.
Menurut Ngakan, pihaknya melakukan pertemuan resmi dengan delegasi dan pemangku kepentingan kedua belah pihak. 
Kegiatan ini bertujuan untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman baik secara teknis maupun manajerial, seperti mengenai kerangka hukum dan regulasi pendukung dalam pengelolaan e-waste dan POPs.
“Kegiatan lainnya, mengunjungi industri pengelola Limbah Bahan Beracun Berbahaya (LB3), yaitu PT Teknotama Lingkungan Internusa (TLI) dan PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLi),” ungkap Ngakan.
Melalui kunjungan tersebut, diharapkan dapat diperoleh gambaran umum mengenai green supply chain pengelolaan e-waste dan POPs, desain ekologi, dan teknologi pemanfaatan yang komprehensif di Indonesia. 
“Pada akhirnya, diharapkan dalam kegiatan ini juga dapat terjalin kerja sama yang intensif dan saling menguntungkan bagi semua pihak,” lanjutnya.
Berdasarkan studi bersama United Nations University (UNU), The International Telecommunication Union (ITU) dan the International Solid Waste Association (ISWA) yang dituangkan dalam laporan The Global E-Waste Monitor 2017, bahwa pada tahun 2016 dihasilkan 44,7 juta metric ton (Mt) e-waste atau 6,1 kg per kapita, dan hanya 20 persen atau 8,9 Mt yang didaur ulang dengan pengelolaan yang benar dan tepat.
“Padahal jika dikelola dengan tepat dan benar melalui pendekatan circular economy, nilai total global e-waste tersebut diperkirakan dapat mencapai 55 miliar Euro. Khusus untuk telepon selular saja, pada tahun 2016, diperkirakan total nilai limbah telepon selular mencapai 9,4 miliar Euro,” papar Ngakan.
Dengan makin meningkatnya permintaan pasar terhadap produk telekomunikasi dan telematika sebagai dampak dari cepatnya perkembangan teknologi di era digital global saat ini, pengelolaan e-waste dan POPs menjadi sesuatu yang sangat krusial.
Studi tersebut juga menyebutkan bahwa rata-rata e-waste yang dihasilkan oleh Indonesia mencapai sekitar 4,9 kg per kapita. 
Angka tersebut tergolong rendah rendah jika dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 8,8 kg per kapita atau Singapura sebanyak 17,9 kg per kapita.
“Walaupun demikian, dengan semakin tingginya pertumbuhan kelas menengah di Indonesia dan ledakan bonus demografi usia produktif di beberapa tahun mendatang, tentunya akan ikut mengerek naik angka tersebut, dan pengelolaan e-waste yang tepat dan benar serta penataan regulasi e-waste menjadi hal yang sangat penting,” tegasnya.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2018