"Setiap kali Astra International melakukan ekspansi, harus ada benang merahnya..."
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Direktur PT Astra International Tbk (ASII) Prijono Sugiarto membeberkan empat poin perusahaan dalam memasuki bisnis baru, yaitu ukuran bisnis, budaya kerja, menaikkan nilai tambah, dan harus memiliki rantai nilai (value chain) untuk menghasilkan produk atau jasa.
"Setiap kali Astra International melakukan ekspansi, harus ada benang merahnya yaitu skala terukur dan rasionable," kata Prijono, ketika berkunjung ke Kantor Berita Antara, di Jakarta, Senin.
Menurut Prijono, sebagai perusahaan konglomerasi Astra International harus mengarah ke sektor usaha yang lebih bervariasi agar memiliki keseimbangan antar bisnis yang satu dengan lainnya.
Ia mencontohkan, perusahaan memutuskan masuk ke industri batu bara karena telah memiliki pembangkit listrik. Demikian juga ketika masuk ke sektor properti dan infrastruktur melalui pola strategic holding yang disesuaikan dengan kompetensi yang dimiliki perusahaan.
Dari sisi ukuran bisnis harus jelas, tidak terlalu kecil karena dalam mengembangkannya hanya akan menghabiskan waktu dan sektor usaha yang akan dimasuki harus sesuai dengan budaya atau kultur perusahaan.
"Jangan nanti kita 'kawin' dengan beda kultur. Kalau perbedaannya (kultur) masih sedikit bisa ditoleransi, tapi kalau beda jauh itu akan sulit," ujarnya.
Selanjutnya, harus memberikan nilai tambah terhadap perusahaan, serta ada mata rantai bisnis dengan mempertimbangkan potensial bisnis di masa datang yang lebih besar.
"Prinsipnya, Astra International dalam berinvestasi tidak mau dengan pola membesarkan kemudian menjual, tetapi lebih bersifat jangka panjang," ujarnya.
Prijono yang dipercaya memimpin sekitar 300.000 orang karyawan ini dengan 200 lebih anak perusahaan, mengatakan bahwa rata-rata investasi Astra International setiap tahun mencapai sekitar 2,5 miliar dolar AS atau setara dengan Rp27 triliun-Rp28 triliun.
"Jadi, kalau mau ekspansi ke bisnis tertentu dengan investasi sekitar Rp2 triliun bisa lah, tapi bukan berarti kita biarkan hangus, melainkan tetap serius untuk masuk," katanya.
Meski begitu, Prijono mengaku tidak selamanya ekspansi bisnis perusahaan berjalan mulus karena pada saat tertentu ada kendala di luar kendali perusahaan. "Kalau seperti ini kita harus berani cut loss," ujarnya.
Laba naik
Sepanjang semester I 2018 Astra International membukukan pendapatan bersih sebesar Rp112,5 triliun, meningkat 15 persen dibandingkan dengan pendapatan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 98,03 triliun.
Saat yang bersamaan, perusahan berhasil mencetak laba bersih sebesar Rp10,38 triliun, melonjak naik 11 persen dibandingkan sebelumnya Rp9,34 triliun.
"Laba bersih grup meningkat pada semester pertama 2018 didorong peningkatan kontribusi dari bisnis alat berat dan pertambangan, serta grup jasa keuangan, yang dapat mengimbangi pelemahan kontribusi dari kegiatan operasional agribisnis dan infrastruktur," ujar Prijono.
Sektor otomotif masih menjadi penyumbang laba terbesar perusahaan dengan menyumbang laba sebesar Rp 4,21 triliun. Hal ini didukung oleh peningkatan laba bersih dari penjualan sepeda motor dan bisnis komponen otomotif, yang dapat mengimbangi penurunan laba bersih dari penjualan mobil.
Adapun sektor jasa keuangan memberikan kontribusi sebesar Rp2,14 triliun ke laba Astra International, terutama karena peningkatan kontribusi dari bisnis pembiayaan konsumen.
Baca juga: Astra bagi dividen Rp7,489 triliun
"Setiap kali Astra International melakukan ekspansi, harus ada benang merahnya yaitu skala terukur dan rasionable," kata Prijono, ketika berkunjung ke Kantor Berita Antara, di Jakarta, Senin.
Menurut Prijono, sebagai perusahaan konglomerasi Astra International harus mengarah ke sektor usaha yang lebih bervariasi agar memiliki keseimbangan antar bisnis yang satu dengan lainnya.
Ia mencontohkan, perusahaan memutuskan masuk ke industri batu bara karena telah memiliki pembangkit listrik. Demikian juga ketika masuk ke sektor properti dan infrastruktur melalui pola strategic holding yang disesuaikan dengan kompetensi yang dimiliki perusahaan.
Dari sisi ukuran bisnis harus jelas, tidak terlalu kecil karena dalam mengembangkannya hanya akan menghabiskan waktu dan sektor usaha yang akan dimasuki harus sesuai dengan budaya atau kultur perusahaan.
"Jangan nanti kita 'kawin' dengan beda kultur. Kalau perbedaannya (kultur) masih sedikit bisa ditoleransi, tapi kalau beda jauh itu akan sulit," ujarnya.
Selanjutnya, harus memberikan nilai tambah terhadap perusahaan, serta ada mata rantai bisnis dengan mempertimbangkan potensial bisnis di masa datang yang lebih besar.
"Prinsipnya, Astra International dalam berinvestasi tidak mau dengan pola membesarkan kemudian menjual, tetapi lebih bersifat jangka panjang," ujarnya.
Prijono yang dipercaya memimpin sekitar 300.000 orang karyawan ini dengan 200 lebih anak perusahaan, mengatakan bahwa rata-rata investasi Astra International setiap tahun mencapai sekitar 2,5 miliar dolar AS atau setara dengan Rp27 triliun-Rp28 triliun.
"Jadi, kalau mau ekspansi ke bisnis tertentu dengan investasi sekitar Rp2 triliun bisa lah, tapi bukan berarti kita biarkan hangus, melainkan tetap serius untuk masuk," katanya.
Meski begitu, Prijono mengaku tidak selamanya ekspansi bisnis perusahaan berjalan mulus karena pada saat tertentu ada kendala di luar kendali perusahaan. "Kalau seperti ini kita harus berani cut loss," ujarnya.
Laba naik
Sepanjang semester I 2018 Astra International membukukan pendapatan bersih sebesar Rp112,5 triliun, meningkat 15 persen dibandingkan dengan pendapatan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 98,03 triliun.
Saat yang bersamaan, perusahan berhasil mencetak laba bersih sebesar Rp10,38 triliun, melonjak naik 11 persen dibandingkan sebelumnya Rp9,34 triliun.
"Laba bersih grup meningkat pada semester pertama 2018 didorong peningkatan kontribusi dari bisnis alat berat dan pertambangan, serta grup jasa keuangan, yang dapat mengimbangi pelemahan kontribusi dari kegiatan operasional agribisnis dan infrastruktur," ujar Prijono.
Sektor otomotif masih menjadi penyumbang laba terbesar perusahaan dengan menyumbang laba sebesar Rp 4,21 triliun. Hal ini didukung oleh peningkatan laba bersih dari penjualan sepeda motor dan bisnis komponen otomotif, yang dapat mengimbangi penurunan laba bersih dari penjualan mobil.
Adapun sektor jasa keuangan memberikan kontribusi sebesar Rp2,14 triliun ke laba Astra International, terutama karena peningkatan kontribusi dari bisnis pembiayaan konsumen.
Baca juga: Astra bagi dividen Rp7,489 triliun
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2018
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.