Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sahat Martin Philip Sinurat menyatakan bahwa Pancasila jangan hanya digunakan ketika menjawab persoalan keberagaman etnis dan agama, namun harus mampu menjawab permasalahan ketimpangan pembangunan, kemiskinan dan keadilan sosial di Indonesia.
Sahat mengatakan hal itu dalam sambutan seminar "Pemuda Sebagai Penjaga Pancasila dan Pembangun Peradaban" pada di Gedung Joeang 45, Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
Seminar itu menghadirkan empat narasumber, yaitu Hokky Situngkir (Presiden/Peneliti Bandung Fe Institute), Raja Juli Anthoni (Sekjen DPP Partai Solidaritas Indonesia), Edward Tanari (Sekjen Pengurus Nasional Perkumpulan Senior GMKI), dan Suroto (Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis Indonesia).
Sekjen DPP PSI, Raja Juli Antoni, menilai bahwa di dunia saat ini, terdapat kecenderungan kuat adanya arus balik demokrasi yang terwujud dalam bentuk populisme. Bangkitnya populisme muncul di Inggris, Prancis, Jerman, serta Amerika Serikat yang dipicu oleh kebijakan kontroversial Donald Trump.
Dia menjelaskan bahwa paham populisme mereduksi proses demokrasi dengan mengkonstruksi pemikiran publik, agar pilihan politiknya hanya berbasis pada sentimen primordialisme.
Bagi Raja Juli Antoni, kebangkitan populisme ini bertanggung jawab atas absennya kontestasi ideologi, konsep, serta program-program dalam proses demokrasi di Indonesia. Akhirnya yang muncul adalah propaganda sentimen primordial SARA dalam meraup suara konstituen.
Menurutnya, populisme itu akan membunuh rasionalitas publik dalam berpartisipasi secara politik dalam proses demokrasi di Indonesia. Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi Indonesia ke depan.
Untuk itu, dia menyarankan perlu adanya penguatan masyarakat sipil (civil society) dan partai politik, serta membangun pendidikan kewarganegaraan (civic education) sebagai sarana untuk membendung populisme di Indonesia.
Sekjen PSI menegaskan, pihaknya siap berdiri di garda terdepan untuk melawan intolerasi dan korupsi yang merupakan problem terbesar bangsa Indonesia.
Sahat mengatakan hal itu dalam sambutan seminar "Pemuda Sebagai Penjaga Pancasila dan Pembangun Peradaban" pada di Gedung Joeang 45, Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
Seminar itu menghadirkan empat narasumber, yaitu Hokky Situngkir (Presiden/Peneliti Bandung Fe Institute), Raja Juli Anthoni (Sekjen DPP Partai Solidaritas Indonesia), Edward Tanari (Sekjen Pengurus Nasional Perkumpulan Senior GMKI), dan Suroto (Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis Indonesia).
Sekjen DPP PSI, Raja Juli Antoni, menilai bahwa di dunia saat ini, terdapat kecenderungan kuat adanya arus balik demokrasi yang terwujud dalam bentuk populisme. Bangkitnya populisme muncul di Inggris, Prancis, Jerman, serta Amerika Serikat yang dipicu oleh kebijakan kontroversial Donald Trump.
Dia menjelaskan bahwa paham populisme mereduksi proses demokrasi dengan mengkonstruksi pemikiran publik, agar pilihan politiknya hanya berbasis pada sentimen primordialisme.
Bagi Raja Juli Antoni, kebangkitan populisme ini bertanggung jawab atas absennya kontestasi ideologi, konsep, serta program-program dalam proses demokrasi di Indonesia. Akhirnya yang muncul adalah propaganda sentimen primordial SARA dalam meraup suara konstituen.
Menurutnya, populisme itu akan membunuh rasionalitas publik dalam berpartisipasi secara politik dalam proses demokrasi di Indonesia. Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi Indonesia ke depan.
Untuk itu, dia menyarankan perlu adanya penguatan masyarakat sipil (civil society) dan partai politik, serta membangun pendidikan kewarganegaraan (civic education) sebagai sarana untuk membendung populisme di Indonesia.
Sekjen PSI menegaskan, pihaknya siap berdiri di garda terdepan untuk melawan intolerasi dan korupsi yang merupakan problem terbesar bangsa Indonesia.
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.