apa dilakukan Ahok dan komunitasnya menjembatani dan memberikan pemahaman kepada masyarakat desa agar menjaga toleransi
Arca Dwarapala yang menjadi simbol penjaga pintu masuk bangunan suci biasanya memiliki bentuk yang garang dan menakutkan.
Namun, sosok Dwarapala yang ditemukan di situs Percandian Muarajambi justru memiliki bentuk wajah yang lemah lembut, jenaka, menggambarkan sosok yang humanis, dan menebarkan kebaikan.
Saat itu, Kamis (18/10) siang, langit di atas kawasan Percandian Muarajambi diselimuti mendung dan terasa teduh. Abdul Haviz kembali menapaki jejak belasan tahun yang lalu di Candi Gedong II, berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Dalam suasana sunyi di kompleks bangunan candi tersebut, Abdul Haviz atau akrab disapa Ahok itu, mengingat saat ia menjadi tenaga kerja lokal untuk pemugaran candi bersama tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi.
Dia berkisah saat itu pada 2001 pernah menjadi tenaga lokal pemugaran Candi Gedong II. Sebelum dipugar, kondisi bangunan candi beserta gapuranya runtuh tak keruan yang mengisyaratkan bahwa dahulu ada sebuah peradaban kuno. Candi Gedong II adalah salah satu bangunan candi yang berhasil dipugar di situs Percandian Muarajambi di Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi.
Saat menggali sebuah gundukan, Ahok mengira akan menemukan prasasati. Namun ketika terus menggali dan digali reruntuhan pada sisi kiri gerbang Candi Gedong II, ternyata dia menemukan Arca Dwarapala yang artinya penjaga "pintu masuk".
Pada umumnya Arca Dwarapala ada sepasang, akan tetapi arca tersebut ditemukan sendiri atau bisa jadi pasangannya belum ditemukan. Saat ini Arca Dwarapala disimpan bersama dengan koleksi benda sejarah lainnya di Museum Candi Muarajambi di dalam kompleks percandian tersebut.
Arca Dwarapala yang berukuran tinggi 1,5 meter itu berbeda dengan arca penjaga candi di Pulau Jawa yang lebih digambarkan berwajah garang. Arca Dwarapala yang ditemukan Ahok itu berwajah ramah dan malah berwajah jenaka meskipun memakai misai. Tangan kanan arca itu memegang tameng, sedangkan tangan kirinya memegang pangkal gada. Di telinganya memakai anting yang agak besar dan memakai pakaian berbentuk cawat.
Berkat temuan Dwarapala, saat ini nama arca itu pun melekat menjadi gelar namanya. Hingga saat ini, ia kerap dijuluki dengan gelar Ahok Dwarapala yang memiliki arti penjaga candi.
Selain berkisah soal pertama kali menemukan Dwarapala, dia pun mengisahkan bagaimana bisa panggil Ahok oleh orang-orang di sekitarnya. Julukan yang hampir sama dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Dengan masih kental menggunakan logat melayunya, dia mengaku saat itu masih belia tidak bisa melafalkan bicara yang lancar bagi orang-orang di sekitarnya.
"Dulu waktu saya masih kecil ngomongnya tidak lancar, bisanya cuma aok, aok... itu saja. Jadi orang di kampung sini manggil saya aok, terus sampai sekarang jadi kebawa sering dijuluki Ahok gitu. Sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Ahok yang mantan gubernur itu," katanya sambil tertawa.
Ahok merupakan salah satu tokoh pemuda di Desa Muarojambi. Secara administrasi, desa tersebut paling dekat di sekitar kawasan Percandian Muarajambi. Kawasan percandian ini dalam sejarahnya kala itu dikenal sebagai pusat ajaran Buddhisme.
Cerita berlanjut dan Ahok pun berkisah lebih jauh yang awalnya ia hanya beraktivitas menjadi tenaga lokal pemugaran hingga akhirnya mulai mempelajari sejarah di situs Percandian Muarajambi.
Awalnya, kata dia, membangun dan mempelajari tradisi dan sejarah leluhur di kawasan Percandian Muarajambi itu sangat sulit, dan bahkan ia pernah dianggap oleh segelintir masyarakat setempat sebagai orang gila.
"Saat itu pernah dianggap gila oleh orang di kampung sini, ngapain menggali sejarah candi, enggak kerja ke ladang. Tapi saya menyikapinya dengan rendah hati, itu bukan umpatan, tapi itu untuk motivasi kita, sempat juga malah dibilang orang sini akan pindah agama," kata Ahok saat ditemui di rumahnya di RT06 Dusun Sungai Melayu, Desa Muarojambi.
Dengan kegigihannya, ia terus membangun kesadaran masyarakat dengan mendirikan komunitas. Sejumlah komunitas pernah didirikannya bersama dengan pemuda lainnya dan sempat vakum.
Waktu terus berlanjut, pada 2008 ia kembali mendirikan komunitas Padmasana yang lebih konsentrasi untuk menjembatani masyarakat agar memahami aktivitas mereka di kawasan tersebut.
Melalui komunitas yang telah dibangun Ahok dan temannya itu, ingin menunjukan bahwa kawasan Percandian Muarajambi warisan leluhur yang harus dijaga dan dihormati, tanpa memandang suku dan agama.
"Terkait ritual umat Buddha di candi itu, kemudian saya jelaskan bahwa harus memilah mana yang ibadah secara Muslim dan mana yang memang untuk menghormati leluhur. Soal itu memang awalnya susah menjelaskan ke orang-orang kampung di sini," kata pria kelahiran 40 tahun silam itu.
Meskipun sulit, kepada masyarakat di desanya, Ahok terus menjelaskan bahwa keberadaan Candi Muarajambi bukan peninggalan dalam konteks Buddha, melainkan peninggalan bangsa sebelumnya yang mesti dilestarikan dan dijaga. "Kita jelaskan kepada masyarakat, karena kalau kita masih bicara bahwa candi ini peninggalan dalam konteks agama, ya tidak bakal terjadi toleransi antarumat beragama," kata dia.
Berdatangan
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak umat Buddha dari berbagai penjuru berdatangan ke kawasan Percandian Muarajambi. Tak jarang pula, Ahok sering diminta membantu pelaksanaan ibadah dan ritual umat Buddha di kawasan percandian tersebut.
Sebelum mereka beribadah dan ritual di candi itu, Ahok kerap diminta menyiapkan sesaji, seperti menyiapkan kembang, buah-buahan, dan memasangkan dupa di pelataran bangunan candi. Untuk memasangkan dupa di salah satu candi yang akan digunakan ritual, ia mengaku juga memikirkan konsep pelestarian dengan memberikan alas di bawah dupa yang akan dibakar itu.
"Saya pernah bilang kepada biksu, bahwa dupa ini kalau bisa dikasih alas, karena kita harus memikirkan konsep pelestarian batu bata, dan justru kemudian saat itu mereka mencontoh dan berkata, `ini baru benar, kita boleh beribadah tapi juga harus menjaga pelestariannya`," kata Ahok.
Awalnya, kata dia, saat diminta menyiapkan sesaji untuk ibadah umat Buddha itu, pernah ada pertentangan hati. Sebab Ahok seorang Muslim.
"Awalnya memang pernah ada pertentangan batin, tapi kembali lagi kita ini berbuat, selain untuk membantu orang, saya juga ingin menghormati leluhur. Intinya itu menghormati, bukan menentang," katanya.
Selain itu, Ahok juga biasanya menjadi pemandu dan diminta menunjukkan ibadah atau menunjukkan candi yang harus didatangi umat Buddha untuk melakukan ibadah, seperti pembacaan Kitab Parita, Pradaksina, dan hingga proses meditasi oleh umat Buddha.
Suatu ketika Ahok pernah bertemu dengan Tanzin Dakpa (Tashila), yang merupakan guru upacara Tantra Wihara dari Tibet. Tashila yang salah satu orang kepercayaan Dalai Lama itu juga pernah beberapa malam menginap di rumah Ahok.
Ahok pun banyak berdiskusi dan mendapatkan pelajaran kebaikan dari Tashila. Bahkan, saat bermalam di rumahnya, saat menjelang subuh ia pernah dibangunkan oleh Tashila. "Waktu menginap di rumah saya, saat subuh saya pernah dibangunkan oleh Tashila, saya disuruh shalat, dia sangat menghargai agama saya," kenang Ahok yang mengidolakan sosok Sujiwo Tejo itu.
Ahok mengaku pernah melemparkan pertanyaan kepada Tashila, "Agama apa yang paling baik." "Agama yang paling baik itu, ya agama yang memberikan kebaikan sebanyak mungkin, tidak ada kekerasan," kata Ahok menirukan jawaban Tashila.
Ketua Perkumpulan Umat Buddha Jambi Rudy Zhang menceritakan saat itu pernah ada seorang biksu yang akan berkunjung ke Candi Muarajambi, namun tidak berani mengenakan pakaian biksu dengan alasan takut dan tidak aman.
Guna meyakinkan, Rudy kemudian menunjukkan kepada biksu perilah kiprah Ahok dan masyarakat tersebut sehingga tidak perlu takut untuk berkunjung ke Candi Muarajambi, sebab di kawasan itu terdapat keindahan dan toleransi umat beragama.
"Saya tunjukin foto-foto aktivitas ibadah di Candi Muarajambi, saya jelaskan di sini bukan cuman aman. Tapi di Candi Muarajambi ini memang masyarakat seluruhnya tidak ada yang Buddis, semua masyarakatnya Muslim, tapi masyarakat di sana (Muarojambi, red.) sangat baik kepada kami," kata Rudy.
Setelah diyakinkan melalui aktivitas masyarakat setempat, saat ini situs Percandian Muarajambi menjadi destinasi yang kian diminati umat Buddha. Bahkan, biksu dari luar negeri tak sedikit yang berkunjung ke kawasan itu untuk melaksanakan perjalanan suci.
Menurut Rudy, Ahok saat ini tidak hanya mendampingi umat Buddha dari dalam negeri, tapi juga sering membantu kelancaran ibadah umat Buddha dari berbagai penjuru, seperti India, Bangladesh, Thailand, Kamboja, Tiongkok, dan Tibet. Berkat peran Ahok dan komunitas pemuda desa setempat, saat ini Candi Muarajambi menjadi saling memberi manfaat antarumat beragama.
"Ahok dan rekannya sudah mengerti kebutuhan ritual kami, misalnya saat ritual pelepasan hewan, burung, ikan, mereka sudah siapkan, kami butuh bunga, mereka juga siapkan, kami butuh tikar untuk meditasi dengan suasana nyaman, mereka sudah disiapkan," katanya.
Menurut dia, berkat peran Ahok menjembatani masyarakat untuk saling menjaga warisan leluhur tersebut, saat ini kehidupan masyarakat di kawasan itu harmonis. Kondisi itu terbangun sejak lima tahun terakhir.
Berdasarkan data Perkumpulan Umat Buddha Jambi, saat ini tercatat umat Buddha di Provinsi Jambi sebanyak 30.000 orang. Perayaan Waisak setiap tahun oleh umat Buddha setempat selalu dipusatkan di kawasan Percandian Muarajambi.
Perayaan Waisak 2562 BE (Buddha Earth)/2018 di situs purbakala Candi Muarajambi menjadi pelaksanaan perayaan Waisak bagi umat Buddha se-Sumatra. Perayaan Waisak pada 2018 tersebut bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.
Bahkan, dalam perayaan saat itu, panitia yang berasal dari umat Buddha juga menyiapkan takjil untuk berbuka puasa bagi umat Muslim yang datang ke kawasan itu. Setiap tahun dalam perayaan ibadah Tri Suci Waisak itu, masyarakat setempat juga ikut membantu pelaksanaan, seperti menjaga keamaan dan lalu lintas kendaraan yang akan menuju kawasan itu.
Terjaga
Menurut Kepala Dusun I Sungai Melayu, Desa Muarojambi, Saparudin, toleransi antarumat beragama di daerah itu hingga saat ini terjaga cukup baik. Hal itu, tidak terlepas dari peranan komunitas yang dibangun oleh Ahok dan pemuda lainnya. "Tidak mudah tentang apa dilakukan Ahok dan komunitasnya untuk menjembatani dan memberikan pemahaman kepada masyarakat desa tersebut agar menjaga toleransi".
Ahok dan semua pemuda di desa tersebut kata Supardi, aktif berkecimpung di situs Percandian Muarajambi dan membantu pelaksanaan ibadah umat Buddha. "Memang sebelumnya ada orang (tidak suka, red.) seperti itu, tapi ya itu hanya segelintir orang," kata dia.
Meskipun terdapat segelintir orang yang tidak suka, kata Saparudin, kondisi keamanan di kawasan tersebut hingga sekarang masih aman. Hal itu, berkat Ahok dan pemuda lainnya yang cukup berperan dalam menjembatani dan memberikan pemahaman terhadap warga di sekitar kawasan percandian.
Perjuangan yang dibangun Ahok dan pemuda lainnya melalui komunitasnya itu, kata dia, juga dengan memberikan edukasi kepada masyarakat. Edukasi juga diberikan kepada anak-anak desa tersebut dengan membentuk Sekolah Alam Raya Muarajambi.
Dahulu, kata dia, dalam pelaksanaan sekolah alam setiap Minggu itu selalu menyelipkan pesan kepada anak-anak untuk terus menjaga toleransi dan warisan sejarah serta peninggalan Buddha di Muarojambi.
Berbagai cara dilakukan Ahok dan para pemuda Muarojambi saat itu, agar masyarakat dapat mempertahankan toleransi umat beragama lewat pemutaran film dokumenter dan layar tancap di kampung tersebut.
"Mereka peduli dan punya keinginan yang besar supaya generasi besoknya tahu sejarahnya yang memang menjadi tempat anak-anak dilahirkan dan dibesarkan di sini," katanya.
Warga desa tersebut kata Saparudin, berjumlah sekitar 1.000 kepala keluarga yang semuanya Muslim. Saat ini, di desa sekitar Percandian Muarajambi itu terdapat dua masjid dan dua mushalla. Upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat oleh komunitas yang didirikan Ahok dan pemuda lainnya itu, cukup membantu membangun suasana toleransi.
Saat ini, lebih banyak masyarakat yang telah bisa menghargai terhadap aktivitas di kawasan Percandian Muarajambi.
Pulau Emas
Sejarah kawasan Percandian Muarajambi yang terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi itu, merupakan rangkaian keberadaan Suarnadwipa atau Pulau Emas. Situs Purbakala Kompleks Percandian Muarajambi adalah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, dengan memiliki luas 3.981 hektare tersebar dalam delapan desa, termasuk desa terdekat adalah Desa Muarojambi.
Berdasarkan data sejarah dari BPCB Jambi, kawasan Percandian Muarajambi pada beberapa abad silam adalah sebagai kampus atau pusat pendidikan ajaran Buddha.
Maha Guru Buddha Atisha dari Tibet pernah tinggal menetap dan belajar di Candi Muarajambi selama 11 tahun atau sekitar 1011-1023 Masehi. Atisha yang merupakan seseorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme di Tibet, dahulunya pernah menjadi murid dari guru besar Buddhisme, yakni Serlingpa Dharmakirti di Percandian Muarajambi pada abad ke-10.
Saat ini, menurut Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN), tercatat 123 peninggalan sejarah mulai dari kanal kuno, candi, dan menapo. Jumlah tersebut baru yang diduga tim ahli sehingga diperkirakan jumlah peninggalan itu bisa lebih banyak.
Selain itu, kawasan Percandian Muarajambi memiliki 82 reruntuhan candi (menapo) bangunan kuno. Saat ini, sudah ada 11 bangunan candi yang dipugar. Bangunan candi yang telah dipugar, antara lain Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembarbatu, Candi Gedong l, Candi Gedong II, Candi Tinggi l, Candi Kedaton, Candi Teluk, Kata Mahligai.
Seiring dengan perjalanan sejarah dan peradaban, tempat yang ditinggalkan pada masa lampau tersebut, keberadaannya saat ini masih mengakar di masyarakat, khususnya untuk destinasi wisata religi dan sejarah. Kawasan Percandian Muarajambi selalu ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai latar belakang agama, termasuk umat Buddha yang akan melaksanakan ibadah atau pun mereka hanya berwisata religi.
Selain dari Indonesia, juga terdapat umat Buddha yang berasal dari Thailand, Vietnam, Tibet, Tiongkok, dan dari rumpun lainnya di Asia Tenggara yang berkunjung ke kawasan tersebut.
Namun, sosok Dwarapala yang ditemukan di situs Percandian Muarajambi justru memiliki bentuk wajah yang lemah lembut, jenaka, menggambarkan sosok yang humanis, dan menebarkan kebaikan.
Saat itu, Kamis (18/10) siang, langit di atas kawasan Percandian Muarajambi diselimuti mendung dan terasa teduh. Abdul Haviz kembali menapaki jejak belasan tahun yang lalu di Candi Gedong II, berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Dalam suasana sunyi di kompleks bangunan candi tersebut, Abdul Haviz atau akrab disapa Ahok itu, mengingat saat ia menjadi tenaga kerja lokal untuk pemugaran candi bersama tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi.
Dia berkisah saat itu pada 2001 pernah menjadi tenaga lokal pemugaran Candi Gedong II. Sebelum dipugar, kondisi bangunan candi beserta gapuranya runtuh tak keruan yang mengisyaratkan bahwa dahulu ada sebuah peradaban kuno. Candi Gedong II adalah salah satu bangunan candi yang berhasil dipugar di situs Percandian Muarajambi di Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi.
Saat menggali sebuah gundukan, Ahok mengira akan menemukan prasasati. Namun ketika terus menggali dan digali reruntuhan pada sisi kiri gerbang Candi Gedong II, ternyata dia menemukan Arca Dwarapala yang artinya penjaga "pintu masuk".
Pada umumnya Arca Dwarapala ada sepasang, akan tetapi arca tersebut ditemukan sendiri atau bisa jadi pasangannya belum ditemukan. Saat ini Arca Dwarapala disimpan bersama dengan koleksi benda sejarah lainnya di Museum Candi Muarajambi di dalam kompleks percandian tersebut.
Arca Dwarapala yang berukuran tinggi 1,5 meter itu berbeda dengan arca penjaga candi di Pulau Jawa yang lebih digambarkan berwajah garang. Arca Dwarapala yang ditemukan Ahok itu berwajah ramah dan malah berwajah jenaka meskipun memakai misai. Tangan kanan arca itu memegang tameng, sedangkan tangan kirinya memegang pangkal gada. Di telinganya memakai anting yang agak besar dan memakai pakaian berbentuk cawat.
Berkat temuan Dwarapala, saat ini nama arca itu pun melekat menjadi gelar namanya. Hingga saat ini, ia kerap dijuluki dengan gelar Ahok Dwarapala yang memiliki arti penjaga candi.
Selain berkisah soal pertama kali menemukan Dwarapala, dia pun mengisahkan bagaimana bisa panggil Ahok oleh orang-orang di sekitarnya. Julukan yang hampir sama dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Dengan masih kental menggunakan logat melayunya, dia mengaku saat itu masih belia tidak bisa melafalkan bicara yang lancar bagi orang-orang di sekitarnya.
"Dulu waktu saya masih kecil ngomongnya tidak lancar, bisanya cuma aok, aok... itu saja. Jadi orang di kampung sini manggil saya aok, terus sampai sekarang jadi kebawa sering dijuluki Ahok gitu. Sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Ahok yang mantan gubernur itu," katanya sambil tertawa.
Ahok merupakan salah satu tokoh pemuda di Desa Muarojambi. Secara administrasi, desa tersebut paling dekat di sekitar kawasan Percandian Muarajambi. Kawasan percandian ini dalam sejarahnya kala itu dikenal sebagai pusat ajaran Buddhisme.
Cerita berlanjut dan Ahok pun berkisah lebih jauh yang awalnya ia hanya beraktivitas menjadi tenaga lokal pemugaran hingga akhirnya mulai mempelajari sejarah di situs Percandian Muarajambi.
Awalnya, kata dia, membangun dan mempelajari tradisi dan sejarah leluhur di kawasan Percandian Muarajambi itu sangat sulit, dan bahkan ia pernah dianggap oleh segelintir masyarakat setempat sebagai orang gila.
"Saat itu pernah dianggap gila oleh orang di kampung sini, ngapain menggali sejarah candi, enggak kerja ke ladang. Tapi saya menyikapinya dengan rendah hati, itu bukan umpatan, tapi itu untuk motivasi kita, sempat juga malah dibilang orang sini akan pindah agama," kata Ahok saat ditemui di rumahnya di RT06 Dusun Sungai Melayu, Desa Muarojambi.
Dengan kegigihannya, ia terus membangun kesadaran masyarakat dengan mendirikan komunitas. Sejumlah komunitas pernah didirikannya bersama dengan pemuda lainnya dan sempat vakum.
Waktu terus berlanjut, pada 2008 ia kembali mendirikan komunitas Padmasana yang lebih konsentrasi untuk menjembatani masyarakat agar memahami aktivitas mereka di kawasan tersebut.
Melalui komunitas yang telah dibangun Ahok dan temannya itu, ingin menunjukan bahwa kawasan Percandian Muarajambi warisan leluhur yang harus dijaga dan dihormati, tanpa memandang suku dan agama.
"Terkait ritual umat Buddha di candi itu, kemudian saya jelaskan bahwa harus memilah mana yang ibadah secara Muslim dan mana yang memang untuk menghormati leluhur. Soal itu memang awalnya susah menjelaskan ke orang-orang kampung di sini," kata pria kelahiran 40 tahun silam itu.
Meskipun sulit, kepada masyarakat di desanya, Ahok terus menjelaskan bahwa keberadaan Candi Muarajambi bukan peninggalan dalam konteks Buddha, melainkan peninggalan bangsa sebelumnya yang mesti dilestarikan dan dijaga. "Kita jelaskan kepada masyarakat, karena kalau kita masih bicara bahwa candi ini peninggalan dalam konteks agama, ya tidak bakal terjadi toleransi antarumat beragama," kata dia.
Berdatangan
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak umat Buddha dari berbagai penjuru berdatangan ke kawasan Percandian Muarajambi. Tak jarang pula, Ahok sering diminta membantu pelaksanaan ibadah dan ritual umat Buddha di kawasan percandian tersebut.
Sebelum mereka beribadah dan ritual di candi itu, Ahok kerap diminta menyiapkan sesaji, seperti menyiapkan kembang, buah-buahan, dan memasangkan dupa di pelataran bangunan candi. Untuk memasangkan dupa di salah satu candi yang akan digunakan ritual, ia mengaku juga memikirkan konsep pelestarian dengan memberikan alas di bawah dupa yang akan dibakar itu.
"Saya pernah bilang kepada biksu, bahwa dupa ini kalau bisa dikasih alas, karena kita harus memikirkan konsep pelestarian batu bata, dan justru kemudian saat itu mereka mencontoh dan berkata, `ini baru benar, kita boleh beribadah tapi juga harus menjaga pelestariannya`," kata Ahok.
Awalnya, kata dia, saat diminta menyiapkan sesaji untuk ibadah umat Buddha itu, pernah ada pertentangan hati. Sebab Ahok seorang Muslim.
"Awalnya memang pernah ada pertentangan batin, tapi kembali lagi kita ini berbuat, selain untuk membantu orang, saya juga ingin menghormati leluhur. Intinya itu menghormati, bukan menentang," katanya.
Selain itu, Ahok juga biasanya menjadi pemandu dan diminta menunjukkan ibadah atau menunjukkan candi yang harus didatangi umat Buddha untuk melakukan ibadah, seperti pembacaan Kitab Parita, Pradaksina, dan hingga proses meditasi oleh umat Buddha.
Suatu ketika Ahok pernah bertemu dengan Tanzin Dakpa (Tashila), yang merupakan guru upacara Tantra Wihara dari Tibet. Tashila yang salah satu orang kepercayaan Dalai Lama itu juga pernah beberapa malam menginap di rumah Ahok.
Ahok pun banyak berdiskusi dan mendapatkan pelajaran kebaikan dari Tashila. Bahkan, saat bermalam di rumahnya, saat menjelang subuh ia pernah dibangunkan oleh Tashila. "Waktu menginap di rumah saya, saat subuh saya pernah dibangunkan oleh Tashila, saya disuruh shalat, dia sangat menghargai agama saya," kenang Ahok yang mengidolakan sosok Sujiwo Tejo itu.
Ahok mengaku pernah melemparkan pertanyaan kepada Tashila, "Agama apa yang paling baik." "Agama yang paling baik itu, ya agama yang memberikan kebaikan sebanyak mungkin, tidak ada kekerasan," kata Ahok menirukan jawaban Tashila.
Ketua Perkumpulan Umat Buddha Jambi Rudy Zhang menceritakan saat itu pernah ada seorang biksu yang akan berkunjung ke Candi Muarajambi, namun tidak berani mengenakan pakaian biksu dengan alasan takut dan tidak aman.
Guna meyakinkan, Rudy kemudian menunjukkan kepada biksu perilah kiprah Ahok dan masyarakat tersebut sehingga tidak perlu takut untuk berkunjung ke Candi Muarajambi, sebab di kawasan itu terdapat keindahan dan toleransi umat beragama.
"Saya tunjukin foto-foto aktivitas ibadah di Candi Muarajambi, saya jelaskan di sini bukan cuman aman. Tapi di Candi Muarajambi ini memang masyarakat seluruhnya tidak ada yang Buddis, semua masyarakatnya Muslim, tapi masyarakat di sana (Muarojambi, red.) sangat baik kepada kami," kata Rudy.
Setelah diyakinkan melalui aktivitas masyarakat setempat, saat ini situs Percandian Muarajambi menjadi destinasi yang kian diminati umat Buddha. Bahkan, biksu dari luar negeri tak sedikit yang berkunjung ke kawasan itu untuk melaksanakan perjalanan suci.
Menurut Rudy, Ahok saat ini tidak hanya mendampingi umat Buddha dari dalam negeri, tapi juga sering membantu kelancaran ibadah umat Buddha dari berbagai penjuru, seperti India, Bangladesh, Thailand, Kamboja, Tiongkok, dan Tibet. Berkat peran Ahok dan komunitas pemuda desa setempat, saat ini Candi Muarajambi menjadi saling memberi manfaat antarumat beragama.
"Ahok dan rekannya sudah mengerti kebutuhan ritual kami, misalnya saat ritual pelepasan hewan, burung, ikan, mereka sudah siapkan, kami butuh bunga, mereka juga siapkan, kami butuh tikar untuk meditasi dengan suasana nyaman, mereka sudah disiapkan," katanya.
Menurut dia, berkat peran Ahok menjembatani masyarakat untuk saling menjaga warisan leluhur tersebut, saat ini kehidupan masyarakat di kawasan itu harmonis. Kondisi itu terbangun sejak lima tahun terakhir.
Berdasarkan data Perkumpulan Umat Buddha Jambi, saat ini tercatat umat Buddha di Provinsi Jambi sebanyak 30.000 orang. Perayaan Waisak setiap tahun oleh umat Buddha setempat selalu dipusatkan di kawasan Percandian Muarajambi.
Perayaan Waisak 2562 BE (Buddha Earth)/2018 di situs purbakala Candi Muarajambi menjadi pelaksanaan perayaan Waisak bagi umat Buddha se-Sumatra. Perayaan Waisak pada 2018 tersebut bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.
Bahkan, dalam perayaan saat itu, panitia yang berasal dari umat Buddha juga menyiapkan takjil untuk berbuka puasa bagi umat Muslim yang datang ke kawasan itu. Setiap tahun dalam perayaan ibadah Tri Suci Waisak itu, masyarakat setempat juga ikut membantu pelaksanaan, seperti menjaga keamaan dan lalu lintas kendaraan yang akan menuju kawasan itu.
Terjaga
Menurut Kepala Dusun I Sungai Melayu, Desa Muarojambi, Saparudin, toleransi antarumat beragama di daerah itu hingga saat ini terjaga cukup baik. Hal itu, tidak terlepas dari peranan komunitas yang dibangun oleh Ahok dan pemuda lainnya. "Tidak mudah tentang apa dilakukan Ahok dan komunitasnya untuk menjembatani dan memberikan pemahaman kepada masyarakat desa tersebut agar menjaga toleransi".
Ahok dan semua pemuda di desa tersebut kata Supardi, aktif berkecimpung di situs Percandian Muarajambi dan membantu pelaksanaan ibadah umat Buddha. "Memang sebelumnya ada orang (tidak suka, red.) seperti itu, tapi ya itu hanya segelintir orang," kata dia.
Meskipun terdapat segelintir orang yang tidak suka, kata Saparudin, kondisi keamanan di kawasan tersebut hingga sekarang masih aman. Hal itu, berkat Ahok dan pemuda lainnya yang cukup berperan dalam menjembatani dan memberikan pemahaman terhadap warga di sekitar kawasan percandian.
Perjuangan yang dibangun Ahok dan pemuda lainnya melalui komunitasnya itu, kata dia, juga dengan memberikan edukasi kepada masyarakat. Edukasi juga diberikan kepada anak-anak desa tersebut dengan membentuk Sekolah Alam Raya Muarajambi.
Dahulu, kata dia, dalam pelaksanaan sekolah alam setiap Minggu itu selalu menyelipkan pesan kepada anak-anak untuk terus menjaga toleransi dan warisan sejarah serta peninggalan Buddha di Muarojambi.
Berbagai cara dilakukan Ahok dan para pemuda Muarojambi saat itu, agar masyarakat dapat mempertahankan toleransi umat beragama lewat pemutaran film dokumenter dan layar tancap di kampung tersebut.
"Mereka peduli dan punya keinginan yang besar supaya generasi besoknya tahu sejarahnya yang memang menjadi tempat anak-anak dilahirkan dan dibesarkan di sini," katanya.
Warga desa tersebut kata Saparudin, berjumlah sekitar 1.000 kepala keluarga yang semuanya Muslim. Saat ini, di desa sekitar Percandian Muarajambi itu terdapat dua masjid dan dua mushalla. Upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat oleh komunitas yang didirikan Ahok dan pemuda lainnya itu, cukup membantu membangun suasana toleransi.
Saat ini, lebih banyak masyarakat yang telah bisa menghargai terhadap aktivitas di kawasan Percandian Muarajambi.
Pulau Emas
Sejarah kawasan Percandian Muarajambi yang terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi itu, merupakan rangkaian keberadaan Suarnadwipa atau Pulau Emas. Situs Purbakala Kompleks Percandian Muarajambi adalah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, dengan memiliki luas 3.981 hektare tersebar dalam delapan desa, termasuk desa terdekat adalah Desa Muarojambi.
Berdasarkan data sejarah dari BPCB Jambi, kawasan Percandian Muarajambi pada beberapa abad silam adalah sebagai kampus atau pusat pendidikan ajaran Buddha.
Maha Guru Buddha Atisha dari Tibet pernah tinggal menetap dan belajar di Candi Muarajambi selama 11 tahun atau sekitar 1011-1023 Masehi. Atisha yang merupakan seseorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme di Tibet, dahulunya pernah menjadi murid dari guru besar Buddhisme, yakni Serlingpa Dharmakirti di Percandian Muarajambi pada abad ke-10.
Saat ini, menurut Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN), tercatat 123 peninggalan sejarah mulai dari kanal kuno, candi, dan menapo. Jumlah tersebut baru yang diduga tim ahli sehingga diperkirakan jumlah peninggalan itu bisa lebih banyak.
Selain itu, kawasan Percandian Muarajambi memiliki 82 reruntuhan candi (menapo) bangunan kuno. Saat ini, sudah ada 11 bangunan candi yang dipugar. Bangunan candi yang telah dipugar, antara lain Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembarbatu, Candi Gedong l, Candi Gedong II, Candi Tinggi l, Candi Kedaton, Candi Teluk, Kata Mahligai.
Seiring dengan perjalanan sejarah dan peradaban, tempat yang ditinggalkan pada masa lampau tersebut, keberadaannya saat ini masih mengakar di masyarakat, khususnya untuk destinasi wisata religi dan sejarah. Kawasan Percandian Muarajambi selalu ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai latar belakang agama, termasuk umat Buddha yang akan melaksanakan ibadah atau pun mereka hanya berwisata religi.
Selain dari Indonesia, juga terdapat umat Buddha yang berasal dari Thailand, Vietnam, Tibet, Tiongkok, dan dari rumpun lainnya di Asia Tenggara yang berkunjung ke kawasan tersebut.
Pewarta: Syarif Abdullah
Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2018
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.