Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Klaten Sri Hartini dan seorang pejabat kabupaten Klaten sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait suap mutasi jabatan di pemerintahan kabupaten.
"Setelah setelah 1x24 jam, penyidik KPK meningkatkan status ke penyidikan berdasarkan dua alat bukti dan menetapkan 2 orang tersangka yaitu SHT (Sri Hartini) dan kawan-kawan yang diduga sebagai penerima suap," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Sabtu.
Sri Hartati disangkakan melanggar pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
"Penyidik juga menetapkan SUL (Suramlan) sebagai pemberi suap pasal 5 ayat 1 huruf a dan atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," tambah Laode.
Suramlan adalah Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Keduanya diamankan bersama dengan enam orang lain dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang dilakukan pada Jumat (30/12) pada sekitar pukul 10.30 WIB.
Enam orang yang lain adalah Nina Puspitarini (PNS), Bambang Teguh (PNS), Slamet (PNS kabid Mutasi), Panca Wardhana (staf honorer), Sukarno (swasta) dan Sunarso (Swasta).
Kedelapan orang tersebut diamankan dengan uang berjumlah Rp2,08 miliar yang ditemukan di rumah dinas Bupati Klaten Sri Hartini dan rumah Sukarno.
"Uang yang didapat kurang lebih adalah Rp2 miliar sedangkan asal uang itu sudah ada dalam catatan-catatan yang dikumpulkan penyidik dan penyelidik KPK," tambah Laode.
Uang itu menurut Laode dikumpulkan di sejumlah pengepul (pengumpul) uang demi mendapatkan jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan Kabupaten Klaten.
"Ada yang bertindak sebagai perantara dengan bupati dengan pihak-pihak yang ingin mendapatkan jabatan tertentu karena berdasarkan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, susunan organisasi dan tata kerja membutuhkan struktur baru sehingga membutuhkan orang-orang baru, dan yang paling berkuasa adalah pimpinan daerah, jadi ada kemungkinan hal ini tidak hanya terjadi di Klaten," tambah Laode.
Sri Hartini adalah Bupati Klaten periode 2016-2021 yang baru dilantik pada 17 Februari 2016. Politisi PDI-Perjuangan itu berpasangan dengan Wakil Bupati Klaten terpilih Sri Mulyani.
Sebelum menjadi Bupati Klaten, Sri Hartini merupakan Wakil Bupati Klaten 2010-2015 dan berpasangan dengan Bupati Sunarna, yang menjabat dua periode 2005-2015. Sunarna tidak lain adalah suami Sri Mulyani.
Sedangkan Sri Hartini adalah istri mantan Bupati Klaten Haryanto Wibowo periode 2000-2005.
Haryanto pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp4,7 miliar dan kasus penggunaan dana anggaran pendapatan belanja daerah untuk perjalanan ke luar negeri. Namun kasusnya diberhentikan karena Haryanto meninggal dunia.
Dengan penangkapan Sri Hartini, pada tahun 2016 KPK sudah melakukan OTT terhadap 4 kepala daerah.
"Setelah setelah 1x24 jam, penyidik KPK meningkatkan status ke penyidikan berdasarkan dua alat bukti dan menetapkan 2 orang tersangka yaitu SHT (Sri Hartini) dan kawan-kawan yang diduga sebagai penerima suap," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Sabtu.
Sri Hartati disangkakan melanggar pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
"Penyidik juga menetapkan SUL (Suramlan) sebagai pemberi suap pasal 5 ayat 1 huruf a dan atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," tambah Laode.
Suramlan adalah Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Keduanya diamankan bersama dengan enam orang lain dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang dilakukan pada Jumat (30/12) pada sekitar pukul 10.30 WIB.
Enam orang yang lain adalah Nina Puspitarini (PNS), Bambang Teguh (PNS), Slamet (PNS kabid Mutasi), Panca Wardhana (staf honorer), Sukarno (swasta) dan Sunarso (Swasta).
Kedelapan orang tersebut diamankan dengan uang berjumlah Rp2,08 miliar yang ditemukan di rumah dinas Bupati Klaten Sri Hartini dan rumah Sukarno.
"Uang yang didapat kurang lebih adalah Rp2 miliar sedangkan asal uang itu sudah ada dalam catatan-catatan yang dikumpulkan penyidik dan penyelidik KPK," tambah Laode.
Uang itu menurut Laode dikumpulkan di sejumlah pengepul (pengumpul) uang demi mendapatkan jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan Kabupaten Klaten.
"Ada yang bertindak sebagai perantara dengan bupati dengan pihak-pihak yang ingin mendapatkan jabatan tertentu karena berdasarkan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, susunan organisasi dan tata kerja membutuhkan struktur baru sehingga membutuhkan orang-orang baru, dan yang paling berkuasa adalah pimpinan daerah, jadi ada kemungkinan hal ini tidak hanya terjadi di Klaten," tambah Laode.
Sri Hartini adalah Bupati Klaten periode 2016-2021 yang baru dilantik pada 17 Februari 2016. Politisi PDI-Perjuangan itu berpasangan dengan Wakil Bupati Klaten terpilih Sri Mulyani.
Sebelum menjadi Bupati Klaten, Sri Hartini merupakan Wakil Bupati Klaten 2010-2015 dan berpasangan dengan Bupati Sunarna, yang menjabat dua periode 2005-2015. Sunarna tidak lain adalah suami Sri Mulyani.
Sedangkan Sri Hartini adalah istri mantan Bupati Klaten Haryanto Wibowo periode 2000-2005.
Haryanto pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp4,7 miliar dan kasus penggunaan dana anggaran pendapatan belanja daerah untuk perjalanan ke luar negeri. Namun kasusnya diberhentikan karena Haryanto meninggal dunia.
Dengan penangkapan Sri Hartini, pada tahun 2016 KPK sudah melakukan OTT terhadap 4 kepala daerah.
Editor: Heppy Ratna
COPYRIGHT © ANTARA 2016
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.